[Review] Dilan 1990: Dari dicaci, sampai dipuji

by - 11:52 AM


Dibuka dengan scene meramal ala Dilan, film ini sukses bikin gue senyum-senyum sendiri. Mungkin, gue adalah satu dari sekian banyak penggemar novel Dilan karya Pidi Baiq yang ketar-ketir karena akhirnya novel ini difilmkan.

Takut? Pasti ada.

Takut gak sesuai ekspektasi, takut gak sebagus novelnya.

Tapi, kenyataannya, sejak tanggal 25 Januari 2018 kemarin, film Dilan sukses bikin yang nonton ikutan baper. Mungkin, emang film ini gak bisa memuaskan ekspektasi semua orang. Karena, masing-masing pembaca novelnya pun pasti punya imajinasi tentang Dilan itu sendiri. Dan, gue juga yakin kalo film Dilan ini udah diproses dengan cara yang begitu maksimal untuk memvisualisasikan Dilan itu sendiri.

Dibangun dengan suasana yang menurut gue 90’s-nya berasa banget. Ya mungkin gue emang cuma generasi yang lahir tahun 90-an, yang mana gak ngerasain jadi anak SMA zaman 90-an. Tapi, dengan ngeliat properti ala 90an, motor jadul, baju oversize, telfon umum, sampe telfon rumah jadul, gue rasa ini berhasil membuat memori otak gue kembali ke beberapa tahun silam jauh sebelum seperti sekarang.

Korban dulu pernah jahilin temen pake telfon umum, nih.

Dilan, seorang anak SMA asal Bandung dengan gombalan receh tapi manisnya, si anak Bunda kalo di rumah, dan seorang panglima tempur di luar rumah. Selalu menjadi tokoh dambaan banyak perempuan yang baca novelnya.

Lalu, singkat cerita, sang panglima tempur jatuh cinta dengan remaja SMA pindahan dari Jakarta. Seperti kebanyakan laki-laki, untuk mendapatkan sang pujaan hati, berbagai macam cara untuk menaklukan pun dilakukan. Begitu pun Dilan, dari mulai mengirim surat, naik angkot bareng, pdkt ala anak SMA yang baru mengenal cinta. Masih malu-malu kucing padahal suka juga.

Gombalan dan jokes receh ala Dilan, berhasil bikin yang nonton filmnya cie-cie sendiri. Milea yang digombalin, satu bioskop yang rame ngecie-cie-in. Dilan yang lagi berantem, satu bioskop yang tegang. Dilan yang ketonjok, satu bioskop yang kesakitan.

Daebak!

Nonton film sama baca novelnya, sama-sama memberikan sensasi yang sama, cuma mungkin dengan cara yang berbeda. Milea yang digombalin Dilan, tapi malah gue yang tersipu malu-malu. Receh, ‘kan?

Film adaptasi dari novel yang selaris Dilan juga gak luput dari banyaknya kontroversi serta pro & kontra. Terlebih waktu pengumuman siapa orang yang beruntung bisa memerankan tokoh sefenomenal Dilan.

Berbagai komen hates dengan lancarnya ada dimana-mana. Isinya cuma...

“Kenapa dia? Gak pantes nih jadi Dilan.”
“Kurang cocok, terlalu anak-anak.”
“Kok dia? Si A ajalah. Lebih cocok.”

Bukan cuma mereka, mungkin kita pun kaget dengan pemilihan tokoh. Tapi, mendengar pernyataan bahwa dia (pemeran tokoh Dilan) dipilih secara langsung oleh penulisnya, gue sih yakin kalo ini udah melalui pertimbangan yang matang.

Kalo penulisnya yang menulis Dilan aja yakin sama si artis, terus kita yang gak terlalu mengenal sosok Dilan kenapa harus ragu?

Dan, terbukti kan... Film Dilan mendapat respon yang sangat baik dari penontonnya.

Bahkan, sampe film ini turun pun, masih ada aja yang ngehate. Gak ngerti lagi... Gue bukan idola si artis, bukan. Cuma aja, kita pun harus melakukan penilaian secara objektif, bukan? Kalo bagus ya, bilang bagus. Kalo emang kurang atau menurut lo gak sesuai, nikmatin aja, gak perlu komen hates.

Kalian tau caranya biar gak kecewa kalo pun film ini gak sesuai ekspektasi kalian? Jangan berharap terlalu tinggi ketika mau nonton.

Karena, kalo lo memasang ekspektasi yang begitu tinggi, itu akan mudah untuk jatuh karena sebuah ketidaksempurnaan. Padahal di dunia ini gak ada yang sempurna. Apalagi urusan cinta.

Udah berapa banyak harapan yang kamu tinggikan lalu akhirnya terhempaskan?

Begitupun film, gak ada film manapun dari adaptasi novel manapun yang mendapatkan nilai sempurna. Semua film, semua cerita, membawa kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita gak bisa menyamaratakan selera kita dengan milik banyak orang.

Kita, sebagai pembaca, harus menghargai karya penulis siapapun orangnya.

Kita, sebagai penikmat film, harus menghargai usaha siapapun yang sudah berusaha menampilkan karyanya yang terbaik.

Karena, menurut gue, di dunia ini yang susah bukanlah membuat karya. Tapi, menghargai sebuah karya.

Kritik, boleh.
Tapi, gak perlu menghujat.
Apalagi berlebihan.
Nanti, kalo udah banyak kebencian, susah meredamnya.

Buat closing, nih ada salam dari quotes Dilan yang bertebaran dimana-mana.

Jangan rindu. Berat. Kamu gak akan kuat. Biar aku saja. – Dilan, 1990

Dear Dilan, yang berat itu bukan rindu.
Tapi, nahan ngantuk disaat lagi ditengah-tengah meeting.
-        -  Karyawan

Dear Dilan, yang berat itu bukan rindu.
Tapi, ngerjain tugas disaat lagi galau-galaunya.
-         -   Pelajar

Dear Dilan, yang berat itu bukan rindu.
Tapi, ngerjain skripsi disaat lagi males-malesnya.
-          -  Mahasiswa

Dear Dilan, yang berat itu bukan rindu.
Tapi, nepatin janji.
-          -  Korban janji manis



Rate buat film Dilan 1990: 8/10

You May Also Like

4 comments

  1. dear dilan
    yang berat itu bukan rindu
    tapi aku :'(

    ReplyDelete
  2. kamu gak berat, cuma sedang berbahagia aja.

    xoxo.

    ReplyDelete
  3. jngan rindu , rindu itu berat , kamu ga akan kuat , biar aku aja :3
    dimna mna tulisan itu , btw cerita nya agak aneh sih tapi doi ane suka banget_-"
    https://infohaqiqih.blogspot.co.id/

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete