[Review] Dilan 1990: Dari dicaci, sampai dipuji
Dibuka dengan scene
meramal ala Dilan, film ini sukses bikin gue senyum-senyum sendiri. Mungkin,
gue adalah satu dari sekian banyak penggemar novel Dilan karya Pidi Baiq yang
ketar-ketir karena akhirnya novel ini difilmkan.
Takut? Pasti ada.
Takut gak sesuai ekspektasi,
takut gak sebagus novelnya.
Tapi, kenyataannya, sejak tanggal 25 Januari 2018 kemarin,
film Dilan sukses bikin yang nonton ikutan baper. Mungkin, emang film ini gak
bisa memuaskan ekspektasi semua orang. Karena, masing-masing pembaca novelnya
pun pasti punya imajinasi tentang Dilan itu sendiri. Dan, gue juga yakin kalo
film Dilan ini udah diproses dengan cara yang begitu maksimal untuk
memvisualisasikan Dilan itu sendiri.
Dibangun dengan suasana yang menurut gue 90’s-nya berasa
banget. Ya mungkin gue emang cuma generasi yang lahir tahun 90-an, yang mana
gak ngerasain jadi anak SMA zaman 90-an. Tapi, dengan ngeliat properti ala
90an, motor jadul, baju oversize, telfon umum, sampe telfon rumah jadul, gue
rasa ini berhasil membuat memori otak gue kembali ke beberapa tahun silam jauh
sebelum seperti sekarang.
Dilan, seorang anak SMA asal Bandung dengan gombalan receh
tapi manisnya, si anak Bunda kalo di rumah, dan seorang panglima tempur di luar
rumah. Selalu menjadi tokoh dambaan banyak perempuan yang baca novelnya.
Lalu, singkat cerita, sang panglima tempur jatuh cinta
dengan remaja SMA pindahan dari Jakarta. Seperti kebanyakan laki-laki, untuk
mendapatkan sang pujaan hati, berbagai macam cara untuk menaklukan pun
dilakukan. Begitu pun Dilan, dari mulai mengirim surat, naik angkot bareng,
pdkt ala anak SMA yang baru mengenal cinta. Masih malu-malu kucing padahal suka
juga.
Gombalan dan jokes
receh ala Dilan, berhasil bikin yang nonton filmnya cie-cie sendiri. Milea yang digombalin, satu bioskop yang rame ngecie-cie-in. Dilan yang lagi berantem,
satu bioskop yang tegang. Dilan yang ketonjok, satu bioskop yang kesakitan.
Daebak!
Nonton film sama baca novelnya, sama-sama memberikan sensasi
yang sama, cuma mungkin dengan cara yang berbeda. Milea yang digombalin Dilan,
tapi malah gue yang tersipu malu-malu. Receh, ‘kan?
Film adaptasi dari novel yang selaris Dilan juga gak luput
dari banyaknya kontroversi serta pro & kontra. Terlebih waktu pengumuman
siapa orang yang beruntung bisa memerankan tokoh sefenomenal Dilan.
Berbagai komen hates
dengan lancarnya ada dimana-mana. Isinya cuma...
“Kenapa dia? Gak pantes nih jadi Dilan.”
“Kurang cocok, terlalu anak-anak.”
“Kok dia? Si A ajalah. Lebih cocok.”
Bukan cuma mereka, mungkin kita pun kaget dengan pemilihan
tokoh. Tapi, mendengar pernyataan bahwa dia (pemeran tokoh Dilan) dipilih
secara langsung oleh penulisnya, gue sih yakin kalo ini udah melalui
pertimbangan yang matang.
Kalo penulisnya yang menulis Dilan aja yakin sama si artis,
terus kita yang gak terlalu mengenal sosok Dilan kenapa harus ragu?
Dan, terbukti kan... Film Dilan mendapat respon yang sangat
baik dari penontonnya.
Bahkan, sampe film ini turun pun, masih ada aja yang ngehate. Gak ngerti lagi... Gue bukan idola
si artis, bukan. Cuma aja, kita pun harus melakukan penilaian secara objektif,
bukan? Kalo bagus ya, bilang bagus. Kalo emang kurang atau menurut lo gak
sesuai, nikmatin aja, gak perlu komen hates.
Kalian tau caranya biar gak kecewa kalo pun film ini gak
sesuai ekspektasi kalian? Jangan berharap terlalu tinggi ketika mau nonton.
Karena, kalo lo memasang ekspektasi yang begitu tinggi, itu
akan mudah untuk jatuh karena sebuah ketidaksempurnaan. Padahal di dunia ini gak
ada yang sempurna. Apalagi urusan cinta.
Begitupun film, gak ada film manapun dari adaptasi novel
manapun yang mendapatkan nilai sempurna. Semua film, semua cerita, membawa
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita gak bisa menyamaratakan selera
kita dengan milik banyak orang.
Kita, sebagai pembaca, harus menghargai karya penulis
siapapun orangnya.
Kita, sebagai penikmat film, harus menghargai usaha siapapun
yang sudah berusaha menampilkan karyanya yang terbaik.
Karena, menurut gue, di dunia ini yang susah bukanlah
membuat karya. Tapi, menghargai sebuah karya.
Kritik, boleh.
Tapi, gak perlu menghujat.
Apalagi berlebihan.
Nanti, kalo udah banyak kebencian, susah meredamnya.
Buat closing, nih
ada salam dari quotes Dilan yang
bertebaran dimana-mana.
Jangan rindu. Berat. Kamu gak akan kuat. Biar aku saja.
– Dilan, 1990
Dear Dilan, yang berat
itu bukan rindu.
Tapi, nahan ngantuk
disaat lagi ditengah-tengah meeting.
- - Karyawan
Dear Dilan, yang berat
itu bukan rindu.
Tapi, ngerjain tugas
disaat lagi galau-galaunya.
- - Pelajar
Dear Dilan, yang berat
itu bukan rindu.
Tapi, ngerjain skripsi
disaat lagi males-malesnya.
- - Mahasiswa
Dear Dilan, yang berat
itu bukan rindu.
Tapi, nepatin janji.
- - Korban janji
manis
Rate buat film Dilan 1990: 8/10
Rate buat film Dilan 1990: 8/10
4 comments
dear dilan
ReplyDeleteyang berat itu bukan rindu
tapi aku :'(
kamu gak berat, cuma sedang berbahagia aja.
ReplyDeletexoxo.
jngan rindu , rindu itu berat , kamu ga akan kuat , biar aku aja :3
ReplyDeletedimna mna tulisan itu , btw cerita nya agak aneh sih tapi doi ane suka banget_-"
https://infohaqiqih.blogspot.co.id/
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete