JEJAK [3]
Message
And the blood will dry, underneath my nails. And the wind will rise up,
to fill my sails. So you can doubt, and you can hate. But i know, no matter
what it takes. I’m coming home – Skylar Grey.
Dengan masih menggunakan piyama yang sekarang ditutupi
jaket, Alia dengan telaten meliput sebuah demo besar di jalan silang Monas dan
pelataran Monas. Demo yang menuntut keadilan atas kasus pembunuhan yang tidak
juga usai sejak dua bulan lalu. Banyaknya orang yang berlalu-lalang dan
sesaknya tempat tidak membuat Alia menurunkan semangatnya meliput.
Bersama Brigitta, reporter
yang menjadi rekan kerjanya, Alia membuat berita dengan sangat apik dan
pengambilan gambar yang baik. Tak perduli bagaimana sinar matahari menyengat
kulitnya.
“...Ya, seperti itulah gambaran situasi silang Monas pada siang
ini terkait demo untuk menuntut penyelesaian kasus pembunuhan yang masih belum
menemukan titik terangnya. Ratusan pendemo berharap hukum akan tetap bersikap
tegas dan adil untuk mengusut kasus ini sampai tuntas. Saya kembalikan ke studio,” ujar Brigitta
menutup sesi live berita.
Alia menghembuskan napasnya setelah berusaha untuk menahan
gemetar pada tubuhnya yang harus meliput kasus ini secara terus menerus. Ya,
kasus yang tidak banyak orang tau, bahwa Alia terlibat di dalamnya. Kasus yang
membuat Alia tidak dapat tidur tenang, bahkan untuk sekedar menghirup udara pun
sesak.
“Mbak, minum dulu.”
Salah seorang panitia demo yang sedang berjaga di sekitar
menawari Alia sebotol air mineral. Gadis itu mengangguk,”Makasih.”
“Dari tv mana, Mbak?” tanya laki-laki itu basa-basi.
“Sinar Dunia TV, Mas,” ujar Alia seraya merogoh kantong
jaketnya dan menyerahkan kartu nama miliknya.
Alia menghela napasnya kasar. Lalu, ia menenggak air mineral
yang membuat kerongkongannya terasa dingin dan lega. Setelah berjam-jam lamanya
ia menahan haus karena harus meliput tanpa henti. Terlebih, ia harus
menyingkirkan beban pikirannya terkait kasus pembunuhan yang ia lihat malam
itu.
“Eh, bergetar. Sini minum!” teriak Alia pada Brigitta dengan
panggilan khasnya – bergetar.
Yang dipanggil langsung menggerutu kala Alia mengganti
namanya.
“Brigitta, Ya. Lidah lo tuh bermasalah, ya?” Gadis itu
menekankan namanya pada Alia yang hanya dibalas dengan gedikan bahu.
“Sama aja, bergetar.”
Memasuki puncak demo yang diiringi dengan gemuruh suara
peserta, Alia kembali bangkit dari duduknya dan menghidupkan kembali kameranya.
“Mau kemana, Ya? Gue baru mau duduk.”
“Bentar, ngeliput.”
Alia melihat ke arah Brigitta yang mulai sibuk memijit
kakinya karena sakit setelah menggunakan hak tinggi selama beberapa jam.
“Kenapa lo?”
“Sakit nih kaki gue. Pegel pake sepatu.”
Dengan sedikit meledek, Alia memalingkan pandangannya
sebelum akhirnya ia pergi,”Salah sendiri pake hak tinggi. Yang mau diliput kan muka lo, bukan kaki. Kecuali kaki
lo bisa ngomong,” ucapnya asal.
Brigitta berdecak kesal. “Ck, sial.”
Alia harus sedikit berlari untuk mendapatkan gambar yang pas
dengan momentumnya saat itu. Di tengah-tengah kerumunan, ia mulai sibuk menyorot
satu per satu pendemo yang mulai menunjukkan taringnya.
Saking sibuknya menyorot, hingga ia tanpa sengaja menabrak
salah seorang pendemo yang membuatnya hampir terjatuh.
Untung saja peserta demo dengan sigap menarik lengan Alia
hingga tubuhnya mendapatkan keseimbangannya kembali.
“Duh, maaf maaf, Mas,” ujarnya yang tidak lagi menghiraukan
beberapa lembar kartu namanya jatuh berserakkan.
“Iya, Mbak. Gak apa-apa,” laki-laki itu tersenyum ramah dan
membiarkan Alia berlalu.
Matahari semakin terik, dan waktu sudah menunjukkan jam 2
siang. Alia mulai merasa dehidrasi karena kurangnya minum. Untungnya, aksi demo
sudah hampir usai dan sebagian besar pendemo sudah mulai meninggalkan pelataran
Monas.
“Yuk Alia pulang,” ajak Brigitta.
Alia masih sibuk menyeka keringatnya yang tak kunjung kering
dari wajahnya. Ia melihat sekilas ke arah Brigitta yang sudah bersiap untuk
kembali pulang ke kantor Sinar Dunia TV. Ia juga melirik ke arah kaki Brigitta
yang sudah tidak mengenakan alas kaki.
“Lah, sepatu tinggi lo mana?”
“Nih,” katanya sambil menunjukkan kedua sepatu berhak tinggi yang ia jinjing. “Gue mau
nyeker aja, biar keliatan lebih membumi dan menyatu dengan alam.”
Alia tertawa geli. “Lo pikir, lo host nature and travel, apa? Segala menyatu dengan alam. Gak sekalian lo
ganti baju lo pake daun pisang? Gue ambilin nih kalo mau. Biar totalitas.”
Brigitta berdecak mendengar Alia meledeknya habis-habisan.
“Bawel, deh. Yaudah, gue capek, nih. Ayo.”
Alia berpikir sejenak sebelum akhirnya menggelengkan
kepalanya. “Lo balik ke kantor aja sendiri. Kayaknya gue mau langsung pulang.
Gak enak badan.”
“Lo sakit? Mau dianter gak?” tanya Brigitta khawatir pada
kondisi rekannya itu.
“Gak usah. Gue nanti di jemput.”
“Sama siapa? Pacar, ya?”
“Iya,” jawab Alia dengan penuh antusias.
“Ih. Siapa?”
“Abang ojol alias
ojek online,” jawab Alia sambil cengengesan.
“Ck. Tau ah. Yaudah, ya. Gue duluan, lo kalo ada apa-apa,
kabarin gue.”
“Siap, bergetar.”
Tak lama saat kedua mata milik Alia sudah tidak lagi melihat
Brigitta, ia pun memesan ojek online. Hanya butuh 3 menit, ia sudah berada
dalam perjalanan pulang.
Jalanan siang ini memang sangat macet, karena berbarengan
dengan para pendemo yang akan pulang. Untungnya, arah yang diambil Alia tidak
sama dengan arah para pendemo. Jadi, ia bisa lebih cepat dan menghindari macet.
“Makasih, Bang,” ujar Alia setelah memberi 2 lembar uang
lima ribuan pada ojek onlinenya.
Dengan langkah gontai, ia mengeluarkan kartu akses miliknya
dan mulai menaiki lift apartment.
Lantai 13, lantai yang cukup jauh dari dasar. Untung saja
naik lift, bayangin gimana capeknya
kalo naik tangga.
Selagi masih ada lift,
sepertinya gak akan ada juga yang naik tangga.
Baru saja Alia menginjakkan kakinya di kamar studio room
miliknya, sebuah pesan singkat masuk memberi efek getar pada ponsel pintarnya.
I found you! 15.15 WIB
Long time no see? 15.16 WIB
I have a clue about you. Sinar Dunia TV, your phone number, and your address
15.17 WIB
Aku pastikan, aku akan segera mendatangimu. 15.18 WIB
Empat sms masuk
beruntun dengan nomer tak dikenal, sukses membuat Alia terduduk lemas tak
berdaya. Menatap nanar layar ponselnya, tersirat rasa takut yang luar biasa
disana.
Mati gue.
***
Di tempat berbeda, Pras yang masih berdiri di depan layar
besar di Sinar Dunia TV, sibuk dengan pikirannya yang sejak tadi mengganggu.
“Kasihan keluarga yang
dibunuh.”
“Iya, sampe sekarang
aja masih belum ketauan siapa pembunuhnya.”
“Serem, ih.
Pembunuhnya masih berkeliaran bebas. Jangan-jangan ada di sekitar kita lagi.”
Mata Pras fokus menatap layar, sedangkan telinganya fokus
mendengarkan celotehan orang-orang mengenai kasus yang belum usai ini.
“Coba aja ada saksi,
pasti selesai nih kasus.”
Pras semakin gusar. Ia bingung. Ingin rasanya ia berjalan
menjauhi obrolan orang-orang itu, tapi entah kenapa langkahnya terasa berat.
“Satu saksi aja
mungkin bisa merubah jalannya kasus ini.”
Laki-laki itu meremas topi miliknya dan mencoba untuk
memaksakan langkahnya. Di ujung jalan, pikirannya terbagi menjadi dua.
Haruskah ia pulang ke tempatnya bekerja. Atau, menemui
polisi yang menangani kasus ini, dan mendaftarkan dirinya menjadi saksi?
Malam itu...
Malam itu gue ada
disana.
Emang, bukan di tempat
TKP.
Tapi, gue ngeliat dia.
Dia... si pembunuh
yang masih menghirup udara bebas tanpa rasa bersalah.
[Author Note]
Hmm... kira-kira, siapa ya pembunuhnya?
0 comments