“RIP” kualitas pe-sinetronan Indonesia.

by - 10:33 AM


 
Entah kenapa sejak munculnya sinetron yang fenomenal itu disalah satu stasiun televisi swasta, yang berhasil menduduki rating 1 sampai 100an lebih episode, makin kesini makin banyak sinetron sejenis yang mencoba untuk menyaingi. Serupa namun tak sama. Tapi agak mulai risih ya kalau liat judul sinetron sekarang yang selalu menggunakan nama animal. Entah itu serigala, harimau, dan mau ada lagi pake nama kambing. What the… naga-nagaan disalah satu stasiun tv udah tamat, malah mulai bermunculan yang lainnya lagi.

Bukannya tidak menghargai kreativitas karya milik bangsa. Cuma, kenapa di Indonesia ini punya kebiasaan “latah” atau suka ikut-ikutan trend. Entah dalam bidang music, reality show, acara musik, maupun sinetron. Ya memang sih untuk dijaman sekarang ini susah untuk menemukan tontonan yang berkualitas. Karena pasalnya, orang-orang yang menonton pun jarang ada yang mau menonton tontonan berkualitas. Otomatis pihak rumah produksi pun akan mengambil judul yang memiliki nilai komersil walau agak ‘miring’. 

Dunia pe-sinetron-an Indonesia kini tengah memasuki fenomena baru. Dimana semua judul sinetron rata-rata menyisipkan nama hewan. Dan genrenya bukan lagi full drama romance. Melainkan action drama romance. Memang sudah ada kemajuan dari dunia tv saat ini. Kalau dilihat, sekarang sudah mulai modern. Filmnya ada adegan fight-nya. Kalau dulu kan cuma drama film biasa. Kalau dulu, macam sinetron Tersanjung, Cinta fitri season 1-7 aja bisa jadi rating 1. Tapi kalau sekarang? Yang bisa menembus rating hanya sinetron yang bisa bertransformasi jadi hewan sepertinya. Hebat ya :’)

Kembali ke topik. Kenapa judul sinetron sekarang tidak jauh-jauh dari serigala-harimau, genre-nya gak jauh-jauh soal vampire, sihir, dan semua yang diluar akal? Kalau gak judulnya putri yang hilang, putri yang tertukar..

Karena, judul-judul yang ‘menarik’ seperti itulah yang memiliki nilai komersil tinggi. Tapi ingat, se-menarik apapun judul, pemainnya menentukan seberapa banyak penontonnya. Gak bisa dipungkiri, rata-rata orang yang ‘ketagihan’ nonton sinetron bukan karena jalan ceritanya, melainkan karena pemainnya.

Sebenarnya sah-sah saja kalau mau buat genre sinetron yang kaya gitu. Karena pada saat ini pun penikmat sinetron lebih menyukai sinetron yang isinya romantis ala-ala ABg gitu. Tapi ada beberapa point yang harus diperbaiki oleh para crew yang bekerja dibidang perfilman.

Problem pertama. Adalah  editan animasinya yang hancur yang membuat film itu yang wah jadi weh. Walaupun gue bukan pecinta fanatic sinetron Indonesia, tapi sometimes suka lihat sekilas. Dari mulai sinetron yang “katanya” terinspirasi dari film luar twilight sampai harry potter, bahkan sampai yang local pun masih ada kurangnya. Ya wajar sih animator kita kan bukan kaya orang luar yang udah ahli gitu ya. Lagi pula gak baik mengkritik kekurangannya secara berlebihan.


Problem kedua. Kadang, jalan cerita gak sesuai sama judul. Awalnya sih masih dalam ‘jalur’ tapi semakin banyak episodenya malah semakin ‘keluar’ dari judul. Kaya film yang udah 1000an episode gak tamat-tamat tuh. Sampe gak tau tukang buburnya udah naik haji berapa kali apa belum sama sekali. Atau, kapan emak Ijahnya ke Mekkah, kelamaan keburu tua itu.. Atau gak, judulnya serigala, dominan yang selalu muncul dan diutamain porsinya vampire, yang jadi pokok permasalahannya manusia.

Problem ketiga. Pemain pendamping/pembantu lebih tenar dari pemain utamanya. Hm, kalau ini gak usah disebut ya ini disinetron apa. Pasangan yang dijuluki couple of the year 2014 ini berhasil mengalahkan pasangan yang menjabat sebagai pemain utama. Gue suka nonton ini awalnya, karena keinget twilight. Terus sempet beberapa kali gue perhatiin ratingnya turun, dengan memunculkan lebih banyak scene pasangan yang merupakan pemain pendamping, malah membuat ratingnya kembali naik. Itu terbukti, kalau yang nonton sinetron ini 60% hanya menunggu scene ‘si’ couple of the year ini.

Problem keempat. KPI yang bertindak bak sensor film. Gue gak terlalu paham ya apa aja tugas dan fungsinya KPI dalam penyiaran yang ditayangin ditv. Tapi, kalau soal ada adegan yang pantas atau gak nya, harus dihilangkan, bukannya itu tugasnya Lembaga Sensor Film ya? Tugas KPI bukannya hanya mengawasi? Kalau sinetron tersebut sudah naik ke tv, berarti harusnya udah melewati sensor film dong, kalau udah ada label lolos sensor, kenapa kadang masih kena tegur KPI? Bukannya kalau sudah ada label lolos sensor itu berarti tandanya ‘aman’? Itu yang gue gak ngerti apa peranan KPI. Pokoknya kalau gak mau kena ‘semprot’ KPI, jangan bikin anak sekolah tapi isinya pacaran semua, atau gak pacaran di sekolah. Ntar kaya yang udah-udah, malah diskors.

Problem kelima. Masih soal “latah”. Tau dong serial film india yang fenomenal itu? Yang bikin dia bertengger di 10 besar rating tv? Sejak serial bollywood itu sukses, ada aja tv lain yang latah mau nayangin serial yang serupa. Dan, hanya karena serial bollywoodnya sukses, ada juga yang slot jam tayang premiernya semua isinya india.  

Problem keenam. Meng-copy sama terinspirasi sama sebuah film lain itu beda. Kalau meng-copy, isi dari 90% film itu sama persis sama film aslinya. Tau kan serial yang mirip harry potter? Gue sebagai pecinta film HP sangat kecewa sih, pasalnya kenapa semua ceritanya nyaris sama persis sama film HP? Penasaran sama sinetronnya. Baru liat episode 1, 20 menit awal. Langsung gak lihat lagi. Tapi, yang gue denger sekarang ratingnya naik terus. Ya mungkin filmnya memang bagus. Asal jangan sampe kaya sinetron yang copy drama Korea itu terus langsung ilang gitu aja pas awal episode. Atau sinetron yang coba niru Harry Potter terus tiba-tiba udah tamat aja. Gagal..

Problem ketujuh. Sinetron yang pokok permasalahannya disitu-situ aja. Ceritanya muter-muter itu-itu aja. Beberapa sinetron yang sudah tembus 100 episode biasanya melakukan blunder pada pokok permasalahan yang mereka ambil. Darah suci, darah suci, terus. Perebutan cewe, perebutan cewe terus. Saling bully, saling bully, terus. Masa lalu, masa lalu, terus. CLBK, CLBK, terus. Begitu aja terus sampe negara api menyerang.

Ya  begitulah sedikit fenomena yang sedang terjadi di dunia pesinetronan Indonesia. Yang bisa dibilang, tayangannya lebih condong ke label bimbingan orang tua. Karena yang nonton bukan lagi remaja, tapi anak kecil pun udah mulai nonton dan menirukan apa yang difilm. Padahal harusnya ambil yang possitif buang yang negative, tapi nyatanya negativenya diingat possitifnya dilupakan.

Jangan salahkan kenapa anak kecil sekarang tingkahnya bak orang dewasa. Karena peranan orang tua, lingkungan, bahkan tontonan yang mereka lihat akan berpengaruh besar untuk pembentukan pribadinya.

Harus tetap dukung karya bangsa sendiri walaupun isinya begitu semua. Yang menurut gue sama aja gak ada bedanya. Semoga para scriptwriter di Indonesia lebih memiliki ide cemerlang lagi dari ini untuk membuat dunia perfilman dan pesinetronan Indonesia semakin maju.

Televisi menyajikan kalian beberapa pilhan tayangan. Dan kalian memiliki pilihan untuk menonton sinetron atau box office yang ditayangkan beberapa stasiun tv. Tapi yang paling bijak dari semua sikap adalah dengan tidak saling judge sinetron satu dengan yang lainnya. Jadi seorang scriptwriter itu gak mudah. Jadi jangan sesekali ngejudge berlebihan karya seorang scriptwriter. Kalian yang cuma komen dan ngejudge belum tentu bisa nulis kaya mereka. Mengkritik boleh tapi tidak men-judge. Be wise!

No offense, no hate, no judging. We live in peace.


You May Also Like

0 comments