#ChitChatNN : Toxic Positivity

by - 6:56 AM


Image result for toxic positivity"




“Semangat dong!”

“Masih ada yang jauh lebih susah dari lo. Yang punya masalah bukan cuma lo doang.”

“Makanya bersyukur biar gak depresi.”

“Baru gitu doang. Gue nih....”

---

“Mau ke Psikolog, ah.”
“Ngapain, sih, buang-buang duit? Mending banyakin ibadah. Bersyukur. Biar gak depresi.”

---


Pernah ada di satu titik di mana lelah dengan semuanya, dan yang bisa dilakukan hanya menangis.

Lalu, datang seorang teman yang menawarkan tempat untuk berbagi.

Setelah tumpah air mata dan segala unek-unek di hati, ia menjawab,”Yaelah, udah, sih, positif thinking aja. Lagian, masalah lo gak seberapa kali. Masih ada yang jauh lebih susah dari lo. Semangat! Banyakin bersyukur biar gak depresi makanya.”

Untuk beberapa detik kemudian, rasa sesal bergemuruh karena bercerita dengan orang yang salah.

Ya, kita tau, beberapa orang berusaha untuk menyemangati mereka yang sedang berada di titik terendah. Sayangnya, bagi mereka – yang mengalami, mereka tidak butuh itu.

Itu juga yang menjadi alasan beberapa orang akhirnya memilih untuk bungkam. Dan, lebih menjawab,”Aku gak apa-apa.”

Tapi, ketika mereka lebih memilih untuk bungkam. Kalian justru berkata,”Coba lo cerita, pasti gak akan depresi.”

Padahal, bercerita dengan orang yang salah pun malah membahayakan diri sendiri.

Kadang, mereka hanya membutuhkan tempat untuk bercerita. Cukup didengarkan, tanpa harus diberi saran.

Bahkan, ada satu titik di mana orang yang mengalami depresi hanya bisa menangis. Karena, kita bahkan gak tau harus memulai cerita dari mana. Feels like, udah terlalu capek. Mau curhat pun percuma. Alhasil, cuma bisa memendam perasaan sendiri. Yang sebenarnya jika dilakukan terus menerus justru membahayakan.

Dan, lagi. Kalimat “Depresi butuh didengarkan” menjadi salah arti untuk sebagian orang. Depresi itu bukan cuma sekedar “curhat” dan selesai. Ada faktor-faktor lain yang seharusnya diperhatikan. Emang, curhat bisa melegakan, tapi itu tidak menyelesaikan.

“Didengarkan” hanya merupakan salah satu cara untuk membantu lega.

Mereka yang mendatangimu untuk berkeluh-kesah, tandanya sudah tidak mampu lagi membendung banyaknya gejolak emosi yang memenuhi rongga dada dan pikiran. Maka, ada baiknya kalian bisa memahami. Bukan justru menghakimi.

Kadang, yang dibutuhkan bukan “toxic positivity”. Kadang, kalian juga perlu berempati. Mencoba memahami apa yang sedang mereka lalui. Jangan melontarkan perkataan yang bahkan bisa menyakiti.

Tapi, apa sih “Toxic positivity”?

Ucapan “semangat” yang justru membuat seseorang semakin tercekat. Dan, banyak orang yang gak sadar udah melakukan ini.

Source: Twitter Dr. Jiemi Ardian


Beberapa bulan yang lalu, sempet lihat ada video bagus di Twitter. Tentang bagaimana kalian merespon orang yang sedang depresi. Kira-kira, begini bunyinya:
  •          “Jangan berkata pada mereka untuk melihat sisi positifnya.”
Mereka yang depresi, apakah mungkin untuk bisa melihat sisi positif? Jika mereka bisa melihat sisi positif, mereka gak akan depresi. Masalahnya di sini, mereka gak bisa melihat sisi positifnya. That’s why, mereka depresi. Itu sama aja berbicara dengan orang yang gak bisa melihat, tapi kalian berkata,”Lihat, mataharinya bagus.” Bagaimana kalian bisa berkata seperti itu pada mereka yang gak bisa melihat? So, when you say to someone “look on the bright side”, you’re judging. Then, what’s the point?


  •           “Sabar.”
Kata ‘sabar’ itu bukan kalimat yang tepat. Depresi itu seperti penyakit yang harus diobati oleh dokter. Bukan cuma sekedar kata-kata,”Sabar”. Ketika kalian sakit, yang harus dilakukan adalah pergi ke dokter untuk mendapatkan pertolongan, bukan? Masa iya,”Aduh, gue sakit, nih.” Terus, kalian cuma jawab,”Ya lo sabar aja.” Another judgement.


  •           “Udah, lupain aja. Anggep aja gak pernah kejadian.”
Ketika kamu merasa depresi, itu tandanya kamu sudah berada di titik terendah. Bagaimana mungkin bisa melupakan kejadian yang menyakiti psikologismu hanya dengan sekejap? Jika mereka bisa melupakan semua kejadian yang ‘menghancurkan’nya, mereka mungkin gak akan merasakan depresi.


  •           “Di luar sana, masih banyak orang yang perjuangannya lebih berat dari kamu.”
Ketika seseorang depresi, dia juga tengah berjuang. Berjuang untuk menghadapi depresinya, dan berjuang untuk hidupnya. Jangan mengucap kata “hanya”, untuk sebagian orang, mungkin masalah yang mereka hadapi itu sepele. Tapi, sayangnya, tidak semua ketahanan mental semua orang sama. Bagi kalian itu sepele, tapi bagi mereka itu berat. Perjuangan masing-masing orang itu berbeda. Jangan nge-judge perjuangan orang lain hanya karena menurutmu itu sepele. You’re also judging.

  •        “Semangat”
Jangan selalu berucap “Semangat!”, orang yang mendatangimu itu sudah terlalu lelah untuk berjalan. Biarkan mereka beristirahat. Ada kalanya, saat seseorang sudah terlalu lemah, ia perlu untuk menenangkan diri dan menarik napasnya dalam. Hidup kadang memang butuh rehat sejenak, bukan?

  •           “Jangan nangis.”
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi setidaknya bisa membuat orang lega. Sama halnya dengan “didengarkan”, tidak menyelesaikan, tapi sedikit melegakan.


  •          “Semua akan baik-baik saja.”

Gak ada orang yang baik-baik aja saat psikologisnya terluka. Kalimat ini seperti harapan “kosong” bagi mereka. Ketika mereka lelah berharap. Lelah berjuang. Lalu, di-suggest “semua akan baik-baik saja.” Meningkatnya suicide seharusnya menjadi barometer, bahwa orang yang mengalami depresi jelas tidak baik-baik saja.
-           

Berpikir positif tidak semudah itu. Terus men-suggest diri untuk mikir positif malah terlihat denial dengan perasaan yang sedang dihadapi sendiri. Ketahuilah, memendam itu menyakitkan. Berbicara pun kesulitan. Menangis tidak menyelesaikan. Lalu, kalian datang dan berbicara yang menyesakkan.

Sayangnya, ketika orang mengetahui orang lain depresi. Kebanyakan justru nge-judge. Bertindak seolah mereka perduli, padahal mereka hanya kepo.

“Nobody cares about your depression until you commit suicide. And then, they will says,”Rest in Peace” They do like they care, but actually they don’t.”

Dan, buat kalian – yang sedang berada di titik jenuh:
“Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Kalian hebat. Kalian gak sendiri. Semoga masalah yang sedang dihadapi cepat selesai. Dan, aku selalu berdo’a untuk kebahagiaan kalian.”

“I wanna live. Not only survive.” – a PTSD.

Finallyyyy, akhirnya setelah sempet vakum beberapa bulan, kami - #ChitChatNN kembaliiiii. Did you guys miss us? Nope? It's okay. Ah, iya... Kalian juga bisa baca soal "Toxic Positivity" di blog-nya Nanoki

By the wayyy, kami juga akan kembali untuk project #Cerpen alias Cerita Pendek. Kali ini, kami akan membuat cerita dari dua sudut pandang tokohnya. Tungguin, ya! 

You May Also Like

2 comments

  1. Menemukan orang yang tepat untuk melegakan hati saat kita sedang butuh curhat emang kadang susah. Karena biasanya, orang baru akan mendekati kita saat kita sedang bahagia.


    Kalau saran saya sih ya, coba cari temen terdekat kita yg mau diajak curhat. Biasanya kan ada biarpun cuma 1. Saya juga pernah mengalaminya. Dan Alhamdulillah sekarang sudah clear masalahnya. Dan tenang saja, karena di masa depan nanti, kita akan berucap "seandainya dulu saya tak mengalaminya, mungkin sekarang saya tak akan kuat menerima cobaan ini"

    ReplyDelete
  2. That's why I rarely say "rest in peace" to people who passed away. Well actually I rarely say rest in peace to people I don't really know or care about.

    ReplyDelete