#ChitChatNN : Toxic Positivity
“Semangat dong!”
“Masih ada yang jauh lebih susah
dari lo. Yang punya masalah bukan cuma lo doang.”
“Makanya bersyukur biar gak
depresi.”
“Baru gitu doang. Gue nih....”
---
“Mau ke Psikolog, ah.”
“Ngapain, sih, buang-buang duit? Mending
banyakin ibadah. Bersyukur. Biar gak depresi.”
---
Pernah ada di satu titik di mana
lelah dengan semuanya, dan yang bisa dilakukan hanya menangis.
Lalu, datang seorang teman yang
menawarkan tempat untuk berbagi.
Setelah tumpah air mata dan segala
unek-unek di hati, ia menjawab,”Yaelah, udah, sih, positif thinking aja. Lagian, masalah lo gak seberapa kali. Masih ada yang
jauh lebih susah dari lo. Semangat! Banyakin bersyukur biar gak depresi
makanya.”
Untuk beberapa detik kemudian, rasa
sesal bergemuruh karena bercerita dengan orang yang salah.
Ya, kita tau, beberapa orang
berusaha untuk menyemangati mereka yang sedang berada di titik terendah.
Sayangnya, bagi mereka – yang mengalami, mereka tidak butuh itu.
Itu juga yang menjadi alasan beberapa
orang akhirnya memilih untuk bungkam. Dan, lebih menjawab,”Aku gak apa-apa.”
Tapi, ketika mereka lebih memilih
untuk bungkam. Kalian justru berkata,”Coba lo cerita, pasti gak akan depresi.”
Padahal, bercerita dengan orang
yang salah pun malah membahayakan diri sendiri.
Kadang, mereka hanya membutuhkan
tempat untuk bercerita. Cukup didengarkan, tanpa harus diberi saran.
Bahkan, ada satu titik di mana
orang yang mengalami depresi hanya bisa menangis. Karena, kita bahkan gak tau
harus memulai cerita dari mana. Feels
like, udah terlalu capek. Mau curhat pun percuma. Alhasil, cuma bisa
memendam perasaan sendiri. Yang sebenarnya jika dilakukan terus menerus justru
membahayakan.
Dan, lagi. Kalimat “Depresi butuh
didengarkan” menjadi salah arti untuk sebagian orang. Depresi itu bukan cuma
sekedar “curhat” dan selesai. Ada faktor-faktor lain yang seharusnya
diperhatikan. Emang, curhat bisa melegakan, tapi itu tidak menyelesaikan.
“Didengarkan” hanya merupakan
salah satu cara untuk membantu lega.
Mereka yang mendatangimu untuk
berkeluh-kesah, tandanya sudah tidak mampu lagi membendung banyaknya gejolak
emosi yang memenuhi rongga dada dan pikiran. Maka, ada baiknya kalian bisa
memahami. Bukan justru menghakimi.
Kadang, yang dibutuhkan bukan “toxic positivity”. Kadang, kalian juga
perlu berempati. Mencoba memahami apa yang sedang mereka lalui. Jangan
melontarkan perkataan yang bahkan bisa menyakiti.
Tapi, apa sih “Toxic positivity”?
Ucapan “semangat” yang justru
membuat seseorang semakin tercekat. Dan, banyak orang yang gak sadar udah
melakukan ini.
Source: Twitter Dr. Jiemi Ardian |
Beberapa bulan yang lalu, sempet
lihat ada video bagus di Twitter. Tentang bagaimana kalian merespon orang yang
sedang depresi. Kira-kira, begini bunyinya:
- “Jangan berkata pada mereka untuk melihat sisi positifnya.”
- “Sabar.”
- “Udah, lupain aja. Anggep aja gak pernah kejadian.”
- “Di luar sana, masih banyak orang yang perjuangannya lebih berat dari kamu.”
Ketika seseorang depresi, dia juga tengah berjuang.
Berjuang untuk menghadapi depresinya, dan berjuang untuk hidupnya. Jangan
mengucap kata “hanya”, untuk sebagian orang, mungkin masalah yang mereka hadapi
itu sepele. Tapi, sayangnya, tidak semua ketahanan mental semua orang sama.
Bagi kalian itu sepele, tapi bagi mereka itu berat. Perjuangan masing-masing
orang itu berbeda. Jangan nge-judge
perjuangan orang lain hanya karena menurutmu itu sepele. You’re also judging.
- “Semangat”
- “Jangan nangis.”
- “Semua akan baik-baik saja.”
Gak ada orang
yang baik-baik aja saat psikologisnya terluka. Kalimat ini seperti harapan
“kosong” bagi mereka. Ketika mereka lelah berharap. Lelah berjuang. Lalu, di-suggest “semua akan baik-baik saja.”
Meningkatnya suicide seharusnya
menjadi barometer, bahwa orang yang mengalami depresi jelas tidak baik-baik
saja.
-
Berpikir positif tidak semudah
itu. Terus men-suggest diri untuk
mikir positif malah terlihat denial
dengan perasaan yang sedang dihadapi sendiri. Ketahuilah, memendam itu
menyakitkan. Berbicara pun kesulitan. Menangis tidak menyelesaikan. Lalu,
kalian datang dan berbicara yang menyesakkan.
Sayangnya, ketika orang
mengetahui orang lain depresi. Kebanyakan justru nge-judge. Bertindak seolah mereka perduli, padahal mereka hanya kepo.
“Nobody cares about your depression until you commit suicide. And then,
they will says,”Rest in Peace” They do like they care, but actually they
don’t.”
Dan, buat kalian – yang sedang
berada di titik jenuh:
“Terima kasih sudah bertahan
sejauh ini. Kalian hebat. Kalian gak sendiri. Semoga masalah yang sedang
dihadapi cepat selesai. Dan, aku selalu berdo’a untuk kebahagiaan kalian.”
“I wanna live. Not only survive.” – a PTSD.
Finallyyyy, akhirnya setelah sempet vakum beberapa bulan, kami - #ChitChatNN kembaliiiii. Did you guys miss us? Nope? It's okay. Ah, iya... Kalian juga bisa baca soal "Toxic Positivity" di blog-nya Nanoki.
By the wayyy, kami juga akan kembali untuk project #Cerpen alias Cerita Pendek. Kali ini, kami akan membuat cerita dari dua sudut pandang tokohnya. Tungguin, ya!
2 comments
Menemukan orang yang tepat untuk melegakan hati saat kita sedang butuh curhat emang kadang susah. Karena biasanya, orang baru akan mendekati kita saat kita sedang bahagia.
ReplyDeleteKalau saran saya sih ya, coba cari temen terdekat kita yg mau diajak curhat. Biasanya kan ada biarpun cuma 1. Saya juga pernah mengalaminya. Dan Alhamdulillah sekarang sudah clear masalahnya. Dan tenang saja, karena di masa depan nanti, kita akan berucap "seandainya dulu saya tak mengalaminya, mungkin sekarang saya tak akan kuat menerima cobaan ini"
That's why I rarely say "rest in peace" to people who passed away. Well actually I rarely say rest in peace to people I don't really know or care about.
ReplyDelete