Toxic.
Beberapa hal yang menurut kita salah, mungkin tidak
sepenuhnya salah. Mungkin bukan dunia yang harus berubah untuk kita. Tapi, kita
yang harus berubah untuk memperbaiki dunia.
Dunia ini akan terus terbagi dengan; hitam dan putih, benar
dan salah, negatif dan positif.
Semua manusia memegang peranan dan pilihannya masing-masing
ingin menjalani hidupnya seperti apa. Dunia sudah memberikan pilihan. Tinggal
pilih, mau ngambil jalan yang mana.
Kadang, suatu perubahan itu perlu diambil dalam hidup.
Keluar dari zona nyaman yang sudah menaungi kita itu perlu.
Pertanyaannya,”Berani atau nggak?”
Gue mau berbagi sedikit perubahan yang gue ambil secara
signifikan.
Mendetoks hidup.
Semua orang pasti tau definisi kata detoksifikasi.
Membuang racun yang bisa membahayakan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan
mendetoksifikasi hidup? Membuang beberapa hal-hal toxic yang bisa “membunuh”
mental gue secara perlahan.
Apa yang harus didetoks?
Circle.
Lingkungan punya peran penting untuk membentuk kita mau jadi seperti apa. Kalo lo
tumbuh dan didukung oleh lingkungan yang penuh negative vibes, gak heran kalo
akhirnya lo akan ikut terbawa ke dalam pengaruh negatif itu sendiri.
Negative vibes yang gue maksud di sini adalah; orang-orang toxic yang punya sifat-sifat toxic, misal: sukanya ikut campur ke
dalam urusan orang lain, julid, penuh rasa iri & dengki, gak suka liat orang lain seneng, dan menyukai perpecahan.
Coba eliminasi orang-orang yang membawa pengaruh negatif
& toxic. Dan, buka jalan
seluas-luasnya untuk orang-orang yang bisa berpikiran jauh lebih positif tanpa
harus membawa pengaruh cemas & stress ke dalam hidup kita.
Gue mulai mendetoks segala hal atau kebiasaan gue yang bisa
disebut toxic. Misal, (in this case,
gue tidak bermaksud untuk sombong atau pilih-pilih temen, ya), gue mulai
mengurangi nongkrong dengan orang-orang yang suka ngebully orang, ngeluh, ngurusin hidup
orang, dan masih banyak hal lain yang menurut gue gak sehat kalo diterusin.
Sampe akhirnya, gue ketemu sama satu orang yang bernilai di
hidup gue. Dia adalah temen sekaligus orang yang gue anggep kayak kakak
sendiri. Dia yang mengubah segala sudut pandang gue bisa sampe seluas sekarang. Thanks to, Neptune!
Bahagia itu gak perlu mewah. Cukup punya temen yang setia
dan menerima apa adanya tanpa perlu banyak drama.
Sudut pandang.
Sebagai orang yang suka nulis, jelas gue harus punya banyak
sudut pandang. Bukan cuma berpaku sama satu sudut pandang aja.
Percaya atau nggak, sudut pandang bisa dibentuk melalui
lingkungan.
Ketika lo didukung oleh lingkungan yang bersudut pandang;
umur lo sekarang harus udah nikah tau, bla
bla bla. Maka, lo akan bersudut pandang bahwa; nikahlah karena dikejar
umur.
Tapi, ketika lo punya lingkungan yang mendukung segala
kegiatan positif lo tanpa harus mencampurkan urusan pribadi. Maka, lo akan
punya sudut pandang yang luas, bahwa hidup bukan hanya tentang pernikahan dan
ketenaran semata.
Sekarang, gue bisa cukup wise
untuk memandang suatu masalah. Ketika ada sesuatu yang dianggap orang salah,
gue bisa berpikir dan melihat dari berbagai macam sudut pandang.
Karena, sebenernya apa yang terlihat salah, tidak sepenuhnya
salah.
Following.
Mau gak mau, suka gak suka, apapun yang kita tonton bisa
mempengaruhi kita sendiri.
Kalo lo suka sinetron yang menye-menye, lo akan terdoktrin
untuk bersikap drama hingga tingkat berlebihan.
Kalo lo suka nonton gosip, lo akan terdoktrin untuk membicarakan
urusan orang lain yang bukan urusan lo.
Kalo lo suka nontonin kebiasaan orang-orang yang banyak
ngeluh, lo akan ikut terdoktrin untuk berpikir seperti itu.
Kalo udah gini, siapa yang salah? Mereka? No. Mereka punya
hak untuk melakukan apapun di hidup mereka.
Lalu? Yang salah ya kita sendiri, kalo mau hidup damai,
kurang-kurangin nontonin hal toxic
kayak gitu.
Karena, apa yang kita tonton, biasanya akan meresap dan
tercontoh oleh kita sendiri.
Gue kadang miris sama orang-orang di luar sana yang terlalu
ikut campur dengan urusan orang lain. Terlalu banyak komentar atas hidup orang
lain. Bahkan, sampe bisa dengan mudahnya memberi label negatif terhadap orang
lain.
Tau, kok. Kalo sesama manusa harus saling perduli. Tapi,
banyak yang mengartikan kalimat itu dengan cara yang salah.
Antara perduli dan mengurusi hidup orang lain itu kadang beda
tipis.
Dulu, gue sama kok kayak kebanyakkan orang. Suka gosip, ya
ngomongin orang juga.
Tapi, semenjak gue merubah pandangan gue dan tontonan gue
lebih ke arah yang positif dan sesuatu yang bisa memotivasi gue, gue udah
meninggalkan semua kebiasaan-kebiasaan itu.
Gue juga memilih siapa yang gue follow di sosial media gue. Banyak orang bakal bilang gue sombong
dan pemilih. Tapi, demi melindungi mental gue sendiri, gue berhak buat memilih
siapa yang mau gue liat.
Bukan karena sombong gue memilih siapa yang gue follow, tapi melindungi mental dari
beberapa hal toxic yang bisa bikin down itu perlu, ‘kan?
Percayalah, hidup tanpa hal-hal toxic itu membuat lo damai dan gak perlu ngerasa insecure.
untuk ukuran orang yang terlalu sering dikhianatin
orang atau bahkan temen sendiri, gue cukup welcome untuk menerima mereka
kembali dengan alasan, teman. Bahkan, gak pernah ragu memberi kepercayaan lagi ke
mereka.
Tapi, untuk sekarang. Cukup sebatas teman. Tanpa harus
mendalami ke urusan lain lagi.
Gue pernah kehilangan ‘rasanya punya teman’. Katanya, teman itu adalah orang yang akan
selalu support kita dalam keadaan apapun. Nyatanya, waktu gue bisa mencapai
salah satu life goals gue, ucapan
selamat dan rasa bahagia dari mereka pun gak ada.
Apa lantas gue kecewa? Nggak. Karena, gue gak pernah menaruh
ekspektasi lebih.
Apa dunia berakhir gitu aja? Nggak. Hanya karena kalian gak
dapet ucapan selamat, gak membuat dunia runtuh, ‘kan?
Hidup itu gak cuma survive.
Tapi, juga harus fight.
Gue berusaha untuk mengupgrade diri gue. Meskipun gue gak
akan pernah jadi sempurna. At least,
sekarang hidup gue lebih terarah.
Bahwa, hidup gak melulu soal goals wedding. Gak melulu soal standar pasangan. Gak melulu soal
kritik orang tanpa etika. Gak melulu soal perbedaan.
Mungkin, gue akan stuck
di level ini. Tapi, gue harus tetep fight
buat melawan hal-hal toxic yang bisa
bikin mental gue down.
Setidaknya, gue bisa merasakan proses sampe titik di mana
mimpi gue tercapai satu per satu. And,
did it.
Anyway, pengalaman
selalu jadi guru terbaik. Dan, itu benar. Ketika gue berada di lingkungan toxic, gue mengalami 3 fase:
Fase percaya, lalu dikhianati.
Fase kembali percaya, lalu dikhianati, lagi.
Fase bodo amat.
Dan, kalo gue udah ada di fase terakhir. Gue harus sadar kalo, gue harus keluar dari lingkungan itu.
Kalo lo ada di pertemanan yang; gak pernah nongol di grup dibilang sombong, giliran nongol tapi dicuekkin, dan left grup dibilang baper. Selamat, kamu berada di circle toxic people!
Nulis ini, bukan buat jadi motivator.
Cuma, mau berbagi sedikit pengalaman gue yang mungkin masih
ada hal baik yang bisa dibagi.
Gue gak memaksa semua orang punya pendapat yang sama.
Karena, setiap orang punya pandangan yang berbeda-beda.
Dan, setelah apa yang gue lakuin di atas. Gue tetaplah orang yang sama.
Gue tetep nonton drama korea sampe
mewek-mewek, gue tetep dengerin lagu barat sampe korea yang menye-menye, gue
tetep nonton film barat yang menye-menye, gue tetep ngefans sama Justin Bieber,
dan gue tetep bisa receh sama hal-hal sepele.
Dan, gue pun tetep menjalin hubungan baik dengan orang-orang yang bahkan melukai gue tanpa sadar.
Yang berubah adalah cara pandang gue terhadap lingkungan gue
(jadi pribadi yang gak dikit-dikit ngebully,
julid, dan menebar kebencian),
dan gue juga jadi lebih cinta sama diri sendiri. Menghargai usaha apapun yang
udah gue lakuin dengan cara terbaik.
Ada kalimat yang bilang: cintai dirimu sendiri, baru cintai
orang lain.
Hargai segala kerja keras sekecil apapun yang dilakuin sama
diri sendiri. Karena, kalo bukan kita yang harus perduli sama diri sendiri,
siapa lagi?
Dan, mau semaksimal apapun kita berusaha jadi baik, akan selalu ada salah di mata orang lain.
So, keep it up! Do your best. And, you will get yours.
7 comments
Dari dulu aku selalu bangga dengan mu ��
ReplyDeleteKau adalah adek kuat ku
Anonymous :( Log in duluu gmailnya sebelum komen biar ada namanya. Hwaaa:(
DeleteItulah kenapa gue gak punya banyak temen dari dulu, hahaha.
ReplyDeleteMemang rasanya kayak udah cukup satu orang aja yang benar-benar mengenal kita, sebagai teman, guru, dan kakak. Ah, so grateful I have her.
Dan alhamdulillah di circle gue ada Nika yang menginspirasi :))
Also, im so grateful to having you. Friend who always support what i did and full of positively vibes. :))
DeleteIjin komen...
ReplyDeleteDulu pernah dosen saya bilang tidak ada yg bisa menyakiti diri kita jika bukan karena kita yang mengijinkan.
Salam kenal
Couldnt agree more!🔥
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete