Toxic.

by - 8:37 AM





Beberapa hal yang menurut kita salah, mungkin tidak sepenuhnya salah. Mungkin bukan dunia yang harus berubah untuk kita. Tapi, kita yang harus berubah untuk memperbaiki dunia.

Dunia ini akan terus terbagi dengan; hitam dan putih, benar dan salah, negatif dan positif.

Semua manusia memegang peranan dan pilihannya masing-masing ingin menjalani hidupnya seperti apa. Dunia sudah memberikan pilihan. Tinggal pilih, mau ngambil jalan yang mana.

Kadang, suatu perubahan itu perlu diambil dalam hidup. Keluar dari zona nyaman yang sudah menaungi kita itu perlu. Pertanyaannya,”Berani atau nggak?”

Gue mau berbagi sedikit perubahan yang gue ambil secara signifikan.

Mendetoks hidup.

Semua orang pasti tau definisi kata detoksifikasi. Membuang racun yang bisa membahayakan. 

Lalu, apa yang dimaksud dengan mendetoksifikasi hidup? Membuang beberapa hal-hal toxic yang bisa “membunuh” mental gue secara perlahan.

Apa yang harus didetoks?

Circle.

Lingkungan punya peran penting untuk membentuk kita mau jadi seperti apa. Kalo lo tumbuh dan didukung oleh lingkungan yang penuh negative vibes, gak heran kalo akhirnya lo akan ikut terbawa ke dalam pengaruh negatif itu sendiri.

Negative vibes yang gue maksud di sini adalah; orang-orang toxic yang punya sifat-sifat toxic, misal: sukanya ikut campur ke dalam urusan orang lain, julid, penuh rasa iri & dengki, gak suka liat orang lain seneng, dan menyukai perpecahan.

Coba eliminasi orang-orang yang membawa pengaruh negatif & toxic. Dan, buka jalan seluas-luasnya untuk orang-orang yang bisa berpikiran jauh lebih positif tanpa harus membawa pengaruh cemas & stress ke dalam hidup kita.

Gue mulai mendetoks segala hal atau kebiasaan gue yang bisa disebut toxic. Misal, (in this case, gue tidak bermaksud untuk sombong atau pilih-pilih temen, ya), gue mulai mengurangi nongkrong dengan orang-orang yang suka  ngebully orang, ngeluh, ngurusin hidup orang, dan masih banyak hal lain yang menurut gue gak sehat kalo diterusin.

Sampe akhirnya, gue ketemu sama satu orang yang bernilai di hidup gue. Dia adalah temen sekaligus orang yang gue anggep kayak kakak sendiri. Dia yang mengubah segala sudut pandang gue bisa sampe seluas sekarang. Thanks to, Neptune!

Bahagia itu gak perlu mewah. Cukup punya temen yang setia dan menerima apa adanya tanpa perlu banyak drama.


Sudut pandang.

Sebagai orang yang suka nulis, jelas gue harus punya banyak sudut pandang. Bukan cuma berpaku sama satu sudut pandang aja.

Percaya atau nggak, sudut pandang bisa dibentuk melalui lingkungan.

Ketika lo didukung oleh lingkungan yang bersudut pandang; umur lo sekarang harus udah nikah tau, bla bla bla. Maka, lo akan bersudut pandang bahwa; nikahlah karena dikejar umur.

Tapi, ketika lo punya lingkungan yang mendukung segala kegiatan positif lo tanpa harus mencampurkan urusan pribadi. Maka, lo akan punya sudut pandang yang luas, bahwa hidup bukan hanya tentang pernikahan dan ketenaran semata.

Sekarang, gue bisa cukup wise untuk memandang suatu masalah. Ketika ada sesuatu yang dianggap orang salah, gue bisa berpikir dan melihat dari berbagai macam sudut pandang.
Karena, sebenernya apa yang terlihat salah, tidak sepenuhnya salah.



Following.

Mau gak mau, suka gak suka, apapun yang kita tonton bisa mempengaruhi kita sendiri.

Kalo lo suka sinetron yang menye-menye, lo akan terdoktrin untuk bersikap drama hingga tingkat berlebihan.

Kalo lo suka nonton gosip, lo akan terdoktrin untuk membicarakan urusan orang lain yang bukan urusan lo.

Kalo lo suka nontonin kebiasaan orang-orang yang banyak ngeluh, lo akan ikut terdoktrin untuk berpikir seperti itu.

Kalo udah gini, siapa yang salah? Mereka? No. Mereka punya hak untuk melakukan apapun di hidup mereka.

Lalu? Yang salah ya kita sendiri, kalo mau hidup damai, kurang-kurangin nontonin hal toxic kayak gitu.

Karena, apa yang kita tonton, biasanya akan meresap dan tercontoh oleh kita sendiri.

Gue kadang miris sama orang-orang di luar sana yang terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Terlalu banyak komentar atas hidup orang lain. Bahkan, sampe bisa dengan mudahnya memberi label negatif terhadap orang lain.

Tau, kok. Kalo sesama manusa harus saling perduli. Tapi, banyak yang mengartikan kalimat itu dengan cara yang salah.

Antara perduli dan mengurusi hidup orang lain itu kadang beda tipis.

Dulu, gue sama kok kayak kebanyakkan orang. Suka gosip, ya ngomongin orang juga.

Tapi, semenjak gue merubah pandangan gue dan tontonan gue lebih ke arah yang positif dan sesuatu yang bisa memotivasi gue, gue udah meninggalkan semua kebiasaan-kebiasaan itu.

Gue juga memilih siapa yang gue follow di sosial media gue. Banyak orang bakal bilang gue sombong dan pemilih. Tapi, demi melindungi mental gue sendiri, gue berhak buat memilih siapa yang mau gue liat.

Bukan karena sombong gue memilih siapa yang gue follow, tapi melindungi mental dari beberapa hal toxic yang bisa bikin down itu perlu, ‘kan?



Percayalah, hidup tanpa hal-hal toxic itu membuat lo damai dan gak perlu ngerasa insecure.
untuk ukuran orang yang terlalu sering dikhianatin orang atau bahkan temen sendiri, gue cukup welcome untuk menerima mereka kembali dengan alasan, teman. Bahkan, gak pernah ragu memberi kepercayaan lagi ke mereka.

Tapi, untuk sekarang. Cukup sebatas teman. Tanpa harus mendalami ke urusan lain lagi.

Gue pernah kehilangan ‘rasanya punya teman’.  Katanya, teman itu adalah orang yang akan selalu support kita dalam keadaan apapun. Nyatanya, waktu gue bisa mencapai salah satu life goals gue, ucapan selamat dan rasa bahagia dari mereka pun gak ada.

Apa lantas gue kecewa? Nggak. Karena, gue gak pernah menaruh ekspektasi lebih.
Apa dunia berakhir gitu aja? Nggak. Hanya karena kalian gak dapet ucapan selamat, gak membuat dunia runtuh, ‘kan?

Hidup itu gak cuma survive. Tapi, juga harus fight.

Gue berusaha untuk mengupgrade diri gue. Meskipun gue gak akan pernah jadi sempurna. At least, sekarang hidup gue lebih terarah.

Bahwa, hidup gak melulu soal goals wedding. Gak melulu soal standar pasangan. Gak melulu soal kritik orang tanpa etika. Gak melulu soal perbedaan.

Mungkin, gue akan stuck di level ini. Tapi, gue harus tetep fight buat melawan hal-hal toxic yang bisa bikin mental gue down.

Setidaknya, gue bisa merasakan proses sampe titik di mana mimpi gue tercapai satu per satu. And, did it.

Anyway, pengalaman selalu jadi guru terbaik. Dan, itu benar. Ketika gue berada di lingkungan toxic, gue mengalami 3 fase:
Fase percaya, lalu dikhianati.
Fase kembali percaya, lalu dikhianati, lagi.
Fase bodo amat.

Dan, kalo gue udah ada di fase terakhir. Gue harus sadar kalo, gue harus keluar dari lingkungan itu.

Kalo lo ada di pertemanan yang; gak pernah nongol di grup dibilang sombong, giliran nongol tapi dicuekkin, dan left grup dibilang baper. Selamat, kamu berada di circle toxic people!

Nulis ini, bukan buat jadi motivator.

Cuma, mau berbagi sedikit pengalaman gue yang mungkin masih ada hal baik yang bisa dibagi.

Gue gak memaksa semua orang punya pendapat yang sama.

Karena, setiap orang punya pandangan yang berbeda-beda.

Dan, setelah apa yang gue lakuin di atas. Gue tetaplah orang yang sama.

Gue tetep nonton drama korea sampe mewek-mewek, gue tetep dengerin lagu barat sampe korea yang menye-menye, gue tetep nonton film barat yang menye-menye, gue tetep ngefans sama Justin Bieber, dan gue tetep bisa receh sama hal-hal sepele.

Dan, gue pun tetep menjalin hubungan baik dengan orang-orang yang bahkan melukai gue tanpa sadar.

Yang berubah adalah cara pandang gue terhadap lingkungan gue (jadi pribadi yang gak dikit-dikit ngebully, julid, dan menebar kebencian), dan gue juga jadi lebih cinta sama diri sendiri. Menghargai usaha apapun yang udah gue lakuin dengan cara terbaik.

Ada kalimat yang bilang: cintai dirimu sendiri, baru cintai orang lain.

Hargai segala kerja keras sekecil apapun yang dilakuin sama diri sendiri. Karena, kalo bukan kita yang harus perduli sama diri sendiri, siapa lagi?

Dan, mau semaksimal  apapun kita berusaha jadi baik, akan selalu ada salah di mata orang lain. 

So, keep it up! Do your best. And, you will get yours.


You May Also Like

7 comments

  1. Dari dulu aku selalu bangga dengan mu ��
    Kau adalah adek kuat ku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anonymous :( Log in duluu gmailnya sebelum komen biar ada namanya. Hwaaa:(

      Delete
  2. Itulah kenapa gue gak punya banyak temen dari dulu, hahaha.
    Memang rasanya kayak udah cukup satu orang aja yang benar-benar mengenal kita, sebagai teman, guru, dan kakak. Ah, so grateful I have her.
    Dan alhamdulillah di circle gue ada Nika yang menginspirasi :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Also, im so grateful to having you. Friend who always support what i did and full of positively vibes. :))

      Delete
  3. Ijin komen...
    Dulu pernah dosen saya bilang tidak ada yg bisa menyakiti diri kita jika bukan karena kita yang mengijinkan.

    Salam kenal

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete