JEJAK [7]
Suara
ambulance dengan lantangnya memecah jalanan Ibu Kota yang dibasahi oleh hujan.
Sedikit kemacetan membuat ambulance harus merangkak ditengah pertarungan hidup
dan mati Alia.
Prass
dengan setia menemani Alia yang tengah kritis dengan darah yang
bercucuran dimana-mana. Tangannya gemetar memegangi tangan mungil Alia.
Jantungnya berpacu dengan cepat menatap wajah Alia yang memucat karena
kehilangan banyak darah.
30
menit berjuang di tengah kemacetan Jakarta dan keegoisan para pengguna jalan
yang gak-mau-tau, akhirnya Alia masuk
ke ruang UGD dan langsung ditangani oleh beberapa dokter setibanya disana.
Prass
panik. Ia bahkan tidak mampu duduk tenang. Ia berjalan mondar-mandir di depan
kamar UGD. Anak laki-laki itu bahkan mengacak kusut rambutnya. Ia khawatir
bukan main.
Sesaat,
ia teringat Fathur dan langsung menelfonnya. “Fat, tolongin aku,” ujarnya
dengan nada bergetar.
“Prass, kamu kenapa?”
“Aku
lagi di rumah sakit.”
“KAMU
KENAPA?” teriak Fathur dari sebrang sana, suaranya berhasil memekikkan telinga
Prass. “KAMU SAKIT? KENAPA DI RUMAH SAKIT?”
“Aku
gak apa-apa.”
‘TERUS?”
saking paniknya, nada bicara Fathur tetap meninggi. Tak perduli sudah berapa
pasang mata mulai menatapnya bingung dan kesal karena terganggu.
“Ceritanya
panjang.”
“CERITAIN
SEKARANGLAH. AKU PERLU TAU PENJELASAN KAMU.”
Prass
nyaris frustasi untuk meyakinkan Fathur,”Ssstt.. suaramu itu loh, bikin
telingaku sakit, Fat.”
“HALAH,
MASIH SEMPET-SEMPETNYA KAMU BERCANDA! KASIH TAU KAMU KENAPA? DI RUMAH SAKIT
MANA?”
Prass
menarik napasnya berat,”Udah gak usah khawatir. Aku gak apa-apa. Aku mau minta
tolong sama kamu. Bisa?”
“APA?”
“Tolong
ambil motorku yang ada di persimpangan jalan gak jauh dari toko. Tadi, aku
tinggalin di situ.”
“Tapi
–“
“Wes to, ra usah banyak nanya. Nanti tak jelasin.”
Setelah
perdebatan panjang, akhirnya Fathur pun mengerti. Dan, segera menuruti
permintaan Prass barusan.
Benar
saja, motor yang dipakai Prass untuk mengantar pesanan masih ada di sana.
Dipersimpangan jalan diguyur hujan. Lengkap dengan pesanan pizza yang belum
sempat Prass antarkan. Tak hanya itu, Fathur juga melihat ada banyak darah
berceceran di sana.
“Mas,”
tegur seorang warga yang sejak tadi mengawasi sepeda motor yang tidak diketahui
pemiliknya.
“Eh,
iya, Pak,” jawabnya sambil terus memutar pertanyaan akan apa yang baru saja
terjadi.
“Mas
kenal sama yang punya motor ini?”
“Iya,
Pak,” Fathur menunjukkan kartu bisnis tempatnya bekerja. “Ini motor di tempat
saya kerja. Dan, ini tadi dipake temen saya.”
“Oh,
yaudah kalo gitu. Mas bisa bawa motornya. Tadi saya cuma bantu jaga. Takut kalo
ada yang ngambil.”
Fathur
mengangguk, bulu kuduknya masih berdiri saat ia melihat darah segar itu di
depan matanya.
“Ehm,
Pak.”
“Iya,
Mas.”
“Ini
kenapa ya kalo boleh tau? Kenapa temen saya ninggalin motornya gitu aja?” tanya
Fathur deg-degan, takut kalau sesuatu
hal buruk menimpa Prass.
“Oh
itu tadi ada kecelakaan tabrak lari.”
“Tabrak
lari?” Fathur kaget.
“Iya,
perempuan ditabrak mobil terus kabur gitu aja. Udah dibawa ambulance, sih. Tadi
temen Mas nemenin si korban. Kayaknya itu temennya, dia keliatan panik,” jelas
warga.
Fathur
bisa sedikit menghela napas lega, ternyata itu bukan Prass.
“Terimakasih
Pak infonya.”
“Sama-sama.”
Fathur
berjalan menyusuri jalanan yang semakin deras diguyur hujan. Sambil terus
bertanya-tanya; siapa perempuan yang
ditolong Prass? Keliatannya dia panik banget ditelfon tadi.
Sudah
40 menit berlalu, dan masih belum ada kabar dari dokter yang menangani Alia.
Prass khawatir bukan main.
Tak
lama, ia merasakan sebuah getaran dari dalam tas Alia.
Ponsel
Alia berdering.
Dani calling....
Dengan
cepat, Prass mengangkat telfonnya. Ia akan bersyukur kalau ternyata yang
menelfon adalah salah satu keluarga Alia.
“Ha
–“ belum sempat Prass menjawab telfon, suara laki-laki dari sebrang sana sudah
lebih dulu bicara.
“Halo,
Alia?”
“Bu-bukan,
saya bukan Alia.”
Dani
tercengang mendengar suara laki-laki yang kini menjawab telfonnya.
“Kamu
siapa? Alia dimana?” tanya Dani dengan cepat.
“Alia
lagi di rumah sakit. Dia kecelakaan. Maaf, kalo boleh tau, saya bicara dengan
siapa?”
Dani
diam sejenak,”Gimana kabar Alia sekarang?” nada bicara Dani yang begitu
menggebu kini berganti dengan suara berat penuh keingintahuan.
“Dia
masih di UGD. Ini siapa, ya? Anda keluarganya?”
“Dia
udah sadar? Di rumah sakit mana?”
“Belum,
saya ada di rumah sakit Harapan Jaya sekarang.”
“Oke,
saya kesana.”
Tut.
Panggilan
terputus.
Setelah
panggilan terputus, Prass berniat untuk kembali memasukkan ponsel ke dalam tas
Alia. Tapi, ada satu barang yang mengalihkan pandangannya saat itu juga.
Sebuah
kepingan CD dengan tanda tangan kecil disudutnya bernamakan Alia. Dan sebuah
tulisan kecil berbunyi “Penting.”
Tak
lama kemudian, Dani datang mengejutkan Prass.
“Gimana
Alia?” tanyanya dengan napas terengah-engah.
“Masih
di UGD,” jawab Prass seperlunya.
“Tas
Alia?” pertanyaan Dani barusan membuat Prass semakin bingung dengan pertanyaan
yang berputar dalam kepalanya.
“Nih,”
Prass menyerahkan tas Alia pada Dani.
Dengan
cepat, Dani membuka tas Alia dan memeriksanya. Tingkahnya yang begitu aneh di
mata Prass menambah kecurigaan yang ada di dalam diri laki-laki itu.
Selesai
Dani memeriksa tas Alia dengan mengacak-acaknya, Dani menghela napasnya. “Gak
ada?”
Prass
hanya menatapnya dengan bingung.
“Kamu
liat barang Alia kayak semacam CD gitu gak?”
Prass
menggeleng. “Nggak. Saya cuma nemuin HP sama dompetnya aja.
Dani
mengacak rambutnya kasar. “Shit.”
Tak
membutuhkan waktu lama, Dani langsung pergi meninggalkan Prass. Ia juga
meninggalkan tas Alia bersama Prass. Membuat kening laki-laki itu berkerut
bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Siapa laki-laki itu?
Dan, apa isi CD yang ia cari sampai sebegitunya?
Tapi,
lamunan Prass buyar ketika dokter yang menangani Alia akhirnya keluar.
“Gimana,
Dok?”
“Dia
kehilangan banyak darah. Tadi sempat kritis. Tapi, sudah kami tangani.
Mudah-mudahan dia akan cepat sadar,” penjelasan sang dokter barusan membuat
Prass menghela napas leganya. “Anda... keluarganya?”
Prass
diam sebelum akhirnya kembali bersuara,”Bisa dibilang begitu.”
-
Setelah
mendengar saran dari dokter untuk menunggu Alia di rumah dan kembali lagi esok
hari, Prass pun kembali ke rumah yang ia tempati.
Disambut
dengan Fathur yang siap menghujaninya dengan banyak pertanyaan tentunya.
Mau
tidak mau, Prass harus menjelaskannya dengan perlahan dan menghadapi
kekhawatiran Fathur akan dirinya.
“Eh,
Fat, kamu ada VCD player gak?” tanya Pras usai menjelaskan detail peristiwa
yang ia alami hari ini.
“VCD player?”
“Iya
yang buat muter CD itu.”
“Oh,
itu mah gak ada. Lagian, buat apa? Itu udah jadul banget. Adanya mah laptop si
Ucup yang aku pinjem itu.”
“Eh,
boleh deh itu. Dimana?”
“Di
kamarku.”
“Pinjem,
ya.”
Pras
langsung bergegas ke kamar Fathur dan mengambil CD yang ia pindahkan ke dalam
tasnya. Laki-laki itu mulai memasukkan CD ke dalam laptop. Perlu menunggu
beberapa detik sebelum akhirnya CD terbaca oleh laptop.
Prass
mengamati isi rekaman peristiwa yang ia lihat dengan seksama. Kedua matanya
terbelalak kaget mendapati apa yang baru saja ia lihat.
“Laki-laki
itu....”
Seketika,
Pras teringat akan Dani yang baru saja bertemunya beberapa jam lalu.
Ya,
laki-laki yang ada di dalam rekaman CD pembunuhan itu adalah Dani.
“Jangan-jangan
yang nabrak Alia itu... Pantesan dia juga langsung nanyain tas Alia.
Ternyata dia nyari ini.”
Napas
yang ia tarik terasa berat seketika. Bersamaan dengan rasa bersalah yang sudah
menuduh Alia begitu saja.
-
Keesokkan
harinya, Pras mendapati Dani yang baru saja turun dari mobilnya. Pandangan Pras
langsung tertuju pada plat nomor mobil Dani B 19 DAN.
“Pas!”
Nomor plat itu sama dengan nomor plat mobil yang ia lihat saat menabrak Alia.
Pras
langsung mempercepat langkahnya.
Semesta
seolah berpihak padanya, saat itu juga Alia tersadarkan diri. Alia yang sudah
dipindah ke ruang inap biasa, kini menatap Pras dengan nanar.
Ada
rasa ketakutan yang begitu mendalam disana. Begitu pun Pras, menatap Alia
dengan perasaan bersalah.
“Maaf,”
keduanya mengucap kata yang sama secara bersamaan.
Alia
tertawa pelan.
“Dan,
makasih,” kata Alia dengan cepat. “Makasih udah nolong gue.”
Pras
menunduk, tersipu malu. Entah kenapa. Yang jelas, melihat Alia saat ini tengah
menatapnya dengan tatapan lain dari biasanya membuatnya terus menundukkan
kepala.
“Oh, iya, saya nemuin ini di tas mbak,”
Prass mengeluarkan CD yang ia ambil dari tas Alia.
“Alia!” kedatangan Dhani secara tiba-tiba,
langsung mengejutkan keduanya. “Are you
okay?”
Alia
tersenyum simpul. “Iya.”
“Gue
khawatir banget sama –“
“Selamat
Pagi.”
Terlihat
tiga orang berseragam kepolisian datang, mengejutkan Alia. Juga, Dhani.
“Iya?
Kenapa ya, Pak?” tanya Alia.
“Ada
laporan bahwa Anda mengalami tabrak lari kemarin.”
“Iya,
saya yang lapor,” ucap Pras. “Bukan cuma itu, saya juga mau menyerahkan sesuatu
yang penting ke polisi.”
Alia
mengerutkan dahinya. Dhani memandang Prass dengan bingung.
“Bukti,”
Pras mengeluarkan CD yang merupakan bukti peristiwa pembunuhan yang sedang
ramai dibicarakan.
“Dan,
saya mau ngelaporin dia,” Pras menunjuk Dhani tepat di depan wajah laki-laki
yang diam terpaku saat itu juga. “Dia adalah pelaku korban tabrak lari. Saya
adalah orang yang menolong korban, dan saya mengingat jelas plat nomor mobil
yang menabrak korban.”
Dhani
panik. “Gak, lo pasti salah liat.”
“Saya
akan maju untuk jadi saksi.”
“Saya
juga mau melaporkan bahwa pelaku pembunuhan itu adalah dia,” Alia akhirnya
angkat bicara. “Dalam CD itu, ada buktinya. Saya yang merekam tanpa sengaja.
Saya juga akan maju sebagai saksi.”
“Shit!” Dhani memutar badannya untuk
lari, tapi polisi lebih sigap darinya.
“Akan
kami tangani. Dan, kalian harus hadir sebagai saksi.”
Prass
dan Alia saling bertukar pandang dan mengangguk secara bersamaan.
-
“Akhirnya,
kasus pembunuhan sadis itu terungkap,” ujar Alia lega setelah selesai
persidangan.
“Iya.”
Alia
dan Prass berjalan beriringan keluar dari gedung.
“Gak
nyangka, pelakunya adalah orang terdekat gue sendiri.”
Prass
hanya meresponnya dengan senyuman. Ia tidak banyak bicara pada Alia usai
persidangan.
“Hm,
Alia.”
Alia
menoleh,”Iya?”
“Mau
pulang bareng?”
Alia
mengedarkan pandangannya,”Hm, gue –“
“Sebagai
tanda permintaan maaf saya udah nuduh kamu waktu itu, saya mau ngajak kamu
jalan-jalan. Keliling Jakarta. Gimana?”
Alia
menyeringai jahil,”Sebagai tanda permintaan maaf atau sebuah cara modus, ya?”
Prass
tertawa.
Alia
tertawa.
Dan,
dunia pun tertawa.
Sesulit
apapun kebenaran terungkap, nyatanya ia akan selalu menang.
[The End]
3 comments
Akhirnyaaaaa.... selesai sudah kisah mereka. Tapi itu kayaknya ada yg salah nama dah. Waktu prass ditelpon dani, terus putus, malah dani yg mau masukin/balikin hapenya alia ke dalem tas. Padahal kan yg ngangkat si Prass.
ReplyDeleteMaafkan segala bentuk keterlambatan dan ke-typo-an cerita di atas wkwk
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete