JEJAK [7]

by - 12:43 PM



Ep. 1

Suara ambulance dengan lantangnya memecah jalanan Ibu Kota yang dibasahi oleh hujan. Sedikit kemacetan membuat ambulance harus merangkak ditengah pertarungan hidup dan mati Alia.

Prass dengan setia menemani Alia yang tengah kritis dengan darah yang bercucuran dimana-mana. Tangannya gemetar memegangi tangan mungil Alia. Jantungnya berpacu dengan cepat menatap wajah Alia yang memucat karena kehilangan banyak darah.

30 menit berjuang di tengah kemacetan Jakarta dan keegoisan para pengguna jalan yang gak-mau-tau, akhirnya Alia masuk ke ruang UGD dan langsung ditangani oleh beberapa dokter setibanya disana.

Prass panik. Ia bahkan tidak mampu duduk tenang. Ia berjalan mondar-mandir di depan kamar UGD. Anak laki-laki itu bahkan mengacak kusut rambutnya. Ia khawatir bukan main.

Sesaat, ia teringat Fathur dan langsung menelfonnya. “Fat, tolongin aku,” ujarnya dengan nada bergetar.

“Prass, kamu kenapa?”

“Aku lagi di rumah sakit.”

“KAMU KENAPA?” teriak Fathur dari sebrang sana, suaranya berhasil memekikkan telinga Prass. “KAMU SAKIT? KENAPA DI RUMAH SAKIT?”

“Aku gak apa-apa.”

‘TERUS?” saking paniknya, nada bicara Fathur tetap meninggi. Tak perduli sudah berapa pasang mata mulai menatapnya bingung dan kesal karena terganggu.

“Ceritanya panjang.”

“CERITAIN SEKARANGLAH. AKU PERLU TAU PENJELASAN KAMU.”

Prass nyaris frustasi untuk meyakinkan Fathur,”Ssstt.. suaramu itu loh, bikin telingaku sakit, Fat.”

“HALAH, MASIH SEMPET-SEMPETNYA KAMU BERCANDA! KASIH TAU KAMU KENAPA? DI RUMAH SAKIT MANA?”

Prass menarik napasnya berat,”Udah gak usah khawatir. Aku gak apa-apa. Aku mau minta tolong sama kamu. Bisa?”

“APA?”

“Tolong ambil motorku yang ada di persimpangan jalan gak jauh dari toko. Tadi, aku tinggalin di situ.”

“Tapi –“

“Wes  to, ra usah banyak nanya. Nanti tak jelasin.”

Setelah perdebatan panjang, akhirnya Fathur pun mengerti. Dan, segera menuruti permintaan Prass barusan.

Benar saja, motor yang dipakai Prass untuk mengantar pesanan masih ada di sana. Dipersimpangan jalan diguyur hujan. Lengkap dengan pesanan pizza yang belum sempat Prass antarkan. Tak hanya itu, Fathur juga melihat ada banyak darah berceceran di sana.

“Mas,” tegur seorang warga yang sejak tadi mengawasi sepeda motor yang tidak diketahui pemiliknya.

“Eh, iya, Pak,” jawabnya sambil terus memutar pertanyaan akan apa yang baru saja terjadi.

“Mas kenal sama yang punya motor ini?”

“Iya, Pak,” Fathur menunjukkan kartu bisnis tempatnya bekerja. “Ini motor di tempat saya kerja. Dan, ini tadi dipake temen saya.”

“Oh, yaudah kalo gitu. Mas bisa bawa motornya. Tadi saya cuma bantu jaga. Takut kalo ada yang ngambil.”

Fathur mengangguk, bulu kuduknya masih berdiri saat ia melihat darah segar itu di depan matanya.

“Ehm, Pak.”

“Iya, Mas.”

“Ini kenapa ya kalo boleh tau? Kenapa temen saya ninggalin motornya gitu aja?” tanya Fathur deg-degan, takut kalau sesuatu hal buruk menimpa Prass.

“Oh itu tadi ada kecelakaan tabrak lari.”

“Tabrak lari?” Fathur kaget.

“Iya, perempuan ditabrak mobil terus kabur gitu aja. Udah dibawa ambulance, sih. Tadi temen Mas nemenin si korban. Kayaknya itu temennya, dia keliatan panik,” jelas warga.

Fathur bisa sedikit menghela napas lega, ternyata itu bukan Prass.

“Terimakasih Pak infonya.”

“Sama-sama.”

Fathur berjalan menyusuri jalanan yang semakin deras diguyur hujan. Sambil terus bertanya-tanya; siapa perempuan yang ditolong Prass? Keliatannya dia panik banget ditelfon tadi.

Sudah 40 menit berlalu, dan masih belum ada kabar dari dokter yang menangani Alia. Prass khawatir bukan main.

Tak lama, ia merasakan sebuah getaran dari dalam tas Alia.

Ponsel Alia berdering.

Dani calling....

Dengan cepat, Prass mengangkat telfonnya. Ia akan bersyukur kalau ternyata yang menelfon adalah salah satu keluarga Alia.

“Ha –“ belum sempat Prass menjawab telfon, suara laki-laki dari sebrang sana sudah lebih dulu bicara.

“Halo, Alia?”

“Bu-bukan, saya bukan Alia.”

Dani tercengang mendengar suara laki-laki yang kini menjawab telfonnya.

“Kamu siapa? Alia dimana?” tanya Dani dengan cepat.

“Alia lagi di rumah sakit. Dia kecelakaan. Maaf, kalo boleh tau, saya bicara dengan siapa?”

Dani diam sejenak,”Gimana kabar Alia sekarang?” nada bicara Dani yang begitu menggebu kini berganti dengan suara berat penuh keingintahuan.

“Dia masih di UGD. Ini siapa, ya? Anda keluarganya?”

“Dia udah sadar? Di rumah sakit mana?”

“Belum, saya ada di rumah sakit Harapan Jaya sekarang.”

“Oke, saya kesana.”

Tut.

Panggilan terputus.

Setelah panggilan terputus, Prass berniat untuk kembali memasukkan ponsel ke dalam tas Alia. Tapi, ada satu barang yang mengalihkan pandangannya saat itu juga.

Sebuah kepingan CD dengan tanda tangan kecil disudutnya bernamakan Alia. Dan sebuah tulisan kecil berbunyi “Penting.”

Tak lama kemudian, Dani datang mengejutkan Prass.

“Gimana Alia?” tanyanya dengan napas terengah-engah.

“Masih di UGD,” jawab Prass seperlunya.

“Tas Alia?” pertanyaan Dani barusan membuat Prass semakin bingung dengan pertanyaan yang berputar dalam kepalanya.

“Nih,” Prass menyerahkan tas Alia pada Dani.

Dengan cepat, Dani membuka tas Alia dan memeriksanya. Tingkahnya yang begitu aneh di mata Prass menambah kecurigaan yang ada di dalam diri laki-laki itu.

Selesai Dani memeriksa tas Alia dengan mengacak-acaknya, Dani menghela napasnya. “Gak ada?”

Prass hanya menatapnya dengan bingung.

“Kamu liat barang Alia kayak semacam CD gitu gak?”

Prass menggeleng. “Nggak. Saya cuma nemuin HP sama dompetnya aja.

Dani mengacak rambutnya kasar. “Shit.”

Tak membutuhkan waktu lama, Dani langsung pergi meninggalkan Prass. Ia juga meninggalkan tas Alia bersama Prass. Membuat kening laki-laki itu berkerut bingung.

Apa yang sebenarnya terjadi?
Siapa laki-laki itu?
Dan, apa isi CD yang ia cari sampai sebegitunya?

Tapi, lamunan Prass buyar ketika dokter yang menangani Alia akhirnya keluar.

“Gimana, Dok?”

“Dia kehilangan banyak darah. Tadi sempat kritis. Tapi, sudah kami tangani. Mudah-mudahan dia akan cepat sadar,” penjelasan sang dokter barusan membuat Prass menghela napas leganya. “Anda... keluarganya?”

Prass diam sebelum akhirnya kembali bersuara,”Bisa dibilang begitu.”

-

Setelah mendengar saran dari dokter untuk menunggu Alia di rumah dan kembali lagi esok hari, Prass pun kembali ke rumah yang ia tempati.

Disambut dengan Fathur yang siap menghujaninya dengan banyak pertanyaan tentunya.

Mau tidak mau, Prass harus menjelaskannya dengan perlahan dan menghadapi kekhawatiran Fathur akan dirinya.

“Eh, Fat, kamu ada VCD player gak?” tanya Pras usai menjelaskan detail peristiwa yang ia alami hari ini.

“VCD  player?”

“Iya yang buat muter CD itu.”

“Oh, itu mah gak ada. Lagian, buat apa? Itu udah jadul banget. Adanya mah laptop si Ucup yang aku pinjem itu.”

“Eh, boleh deh itu. Dimana?”

“Di kamarku.”

“Pinjem, ya.”

Pras langsung bergegas ke kamar Fathur dan mengambil CD yang ia pindahkan ke dalam tasnya. Laki-laki itu mulai memasukkan CD ke dalam laptop. Perlu menunggu beberapa detik sebelum akhirnya CD terbaca oleh laptop.

Prass mengamati isi rekaman peristiwa yang ia lihat dengan seksama. Kedua matanya terbelalak kaget mendapati apa yang baru saja ia lihat.

“Laki-laki itu....”

Seketika, Pras teringat akan Dani yang baru saja bertemunya beberapa jam lalu.

Ya, laki-laki yang ada di dalam rekaman CD pembunuhan itu adalah Dani.

“Jangan-jangan yang nabrak Alia itu... Pantesan dia juga langsung nanyain tas Alia. Ternyata  dia nyari ini.”

Napas yang ia tarik terasa berat seketika. Bersamaan dengan rasa bersalah yang sudah menuduh Alia begitu saja.

-

Keesokkan harinya, Pras mendapati Dani yang baru saja turun dari mobilnya. Pandangan Pras langsung tertuju pada plat nomor mobil Dani B 19 DAN.

“Pas!” Nomor plat itu sama dengan nomor plat mobil yang ia lihat saat menabrak Alia.

Pras langsung mempercepat langkahnya.

Semesta seolah berpihak padanya, saat itu juga Alia tersadarkan diri. Alia yang sudah dipindah ke ruang inap biasa, kini menatap Pras dengan nanar.

Ada rasa ketakutan yang begitu mendalam disana. Begitu pun Pras, menatap Alia dengan perasaan bersalah.

“Maaf,” keduanya mengucap kata yang sama secara bersamaan.

Alia tertawa pelan.

“Dan, makasih,” kata Alia dengan cepat. “Makasih udah nolong gue.”

Pras menunduk, tersipu malu. Entah kenapa. Yang jelas, melihat Alia saat ini tengah menatapnya dengan tatapan lain dari biasanya membuatnya terus menundukkan kepala.

Oh, iya, saya nemuin ini di tas mbak,” Prass mengeluarkan CD yang ia ambil dari tas Alia.

 “Alia!” kedatangan Dhani secara tiba-tiba, langsung mengejutkan keduanya. “Are you okay?”

Alia tersenyum simpul. “Iya.”

“Gue khawatir banget sama –“

“Selamat Pagi.”

Terlihat tiga orang berseragam kepolisian datang, mengejutkan Alia. Juga, Dhani.

“Iya? Kenapa ya, Pak?” tanya Alia.

“Ada laporan bahwa Anda mengalami tabrak lari kemarin.”

“Iya, saya yang lapor,” ucap Pras. “Bukan cuma itu, saya juga mau menyerahkan sesuatu yang penting ke polisi.”

Alia mengerutkan dahinya. Dhani memandang Prass dengan bingung.

“Bukti,” Pras mengeluarkan CD yang merupakan bukti peristiwa pembunuhan yang sedang ramai dibicarakan.

“Dan, saya mau ngelaporin dia,” Pras menunjuk Dhani tepat di depan wajah laki-laki yang diam terpaku saat itu juga. “Dia adalah pelaku korban tabrak lari. Saya adalah orang yang menolong korban, dan saya mengingat jelas plat nomor mobil yang menabrak korban.”

Dhani panik. “Gak, lo pasti salah liat.”

“Saya akan maju untuk jadi saksi.”

“Saya juga mau melaporkan bahwa pelaku pembunuhan itu adalah dia,” Alia akhirnya angkat bicara. “Dalam CD itu, ada buktinya. Saya yang merekam tanpa sengaja. Saya juga akan maju sebagai saksi.”

Shit!” Dhani memutar badannya untuk lari, tapi polisi lebih sigap darinya.

“Akan kami tangani. Dan, kalian harus hadir sebagai saksi.”

Prass dan Alia saling bertukar pandang dan mengangguk secara bersamaan.

-

“Akhirnya, kasus pembunuhan sadis itu terungkap,” ujar Alia lega setelah selesai persidangan.

“Iya.”

Alia dan Prass berjalan beriringan keluar dari gedung.

“Gak nyangka, pelakunya adalah orang terdekat gue sendiri.”

Prass hanya meresponnya dengan senyuman. Ia tidak banyak bicara pada Alia usai persidangan.

“Hm, Alia.”

Alia menoleh,”Iya?”

“Mau pulang bareng?”

Alia mengedarkan pandangannya,”Hm, gue –“

“Sebagai tanda permintaan maaf saya udah nuduh kamu waktu itu, saya mau ngajak kamu jalan-jalan. Keliling Jakarta. Gimana?”

Alia menyeringai jahil,”Sebagai tanda permintaan maaf atau sebuah cara modus, ya?”

Prass tertawa.

Alia tertawa.

Dan, dunia pun tertawa.

Sesulit apapun kebenaran terungkap, nyatanya ia akan selalu menang.



[The End]

You May Also Like

3 comments

  1. Akhirnyaaaaa.... selesai sudah kisah mereka. Tapi itu kayaknya ada yg salah nama dah. Waktu prass ditelpon dani, terus putus, malah dani yg mau masukin/balikin hapenya alia ke dalem tas. Padahal kan yg ngangkat si Prass.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maafkan segala bentuk keterlambatan dan ke-typo-an cerita di atas wkwk

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete