Potret miris sebuah bangunan sejarah disudut Jakarta.
Berhubung gue takut nyasar gak tahu jalannya kalau
naik angkutan umum, akhirnya Ayah gue memutuskan untuk nganterin gue hari ini
naik 502, sekaligus dikasih tahu turunnya dimana. Ya meleset-meleset akhirnya
jalan ke monas. Lumayan, jalan pagi (menjelang siang).
Buat orang-orang yang tinggal di Jakarta, siapa sih yang gak
tahu Monas (Monumen Nasional). Salah satu tempat bersejarah di Jakarta.
Entah kapan terakhir kali kesini bareng sama keluarga,
kangen banget kayaknya waktu masih kecil ke Monas aja udah istimewa banget. Pas
udah gede, kayaknya jadi meng-underestimate-kan
tempat ini sebagai tempat rekreasi.
Pas gue kesini lagi setelah beberapa tahun gak kesini, gue
sempet dikejutkan dengan keadaan disini. Keadaannya sekarang udah jauh lebih
buruk berubah dibanding saat pertama kali gue kesini.
Rumputnya yang udah jarang-jarang jadi Cuma kelihatan
tanahnya yang gersang. Atau sampah yang berserakan dimana-mana. Padahal, udah
disedian tempat sampah. Senang sih kalau sekarang makin banyak yang berkunjung
kesini. Cuma sekedar rekreasi di halaman sekitar Monas atau masuk ke dalamnya. Tapi,
mirisnya makin banyak yang berkunjung, sampah makin banyak berserakan
dimana-mana. Entah mereka yang gak lihat tempat sampah, atau gak bisa ngebedain
mana tempat sampah mana bukan, atau mereka yang udah gak perduli lagi soal
pentingnya buang sampah ditempat sampah.
Masyarakat yang kayak begini nih yang kadang suka bikin
errr. Buang sampah sembarang tempat, giliran banjir pemerintahnya yang
disalahin. Tipe ini adalah masyarakat yang gak mau disalahin tapi mencari
kesalahan orang lain dan mengkambing hitamkan pihak instansi tertentu. Sebenarnya,
pihak pengelola monas sendiri sudah memfasilitasi lingkungan dengan banyaknya
tempat sampah disediakan. Tapi.... kayaknya mau sebanyak apapun tempat sampah,
masyarakat jauh lebih suka membuang sampah disembarang tempat.
Gue gak tahu ya apa karena ini weekend lantas banyak
pedagang yang masuk ke kawasan lingkungan Monas atau memang sekarang kawasan
Monas memang memperbolehkan pedagang berjualan disemua sudut tempat di
lingkungan Monas. Sejauh mata memandang, yang gue lihat bukan lagi pepohonan
yang rindang atau rumput yang hijau, tapi para pedagang kaki lima yang buka lapak
disembarang tempat.
Gue gak ngelarang atau menyinyiri para pedagang yang
berjualan di sekitar lingkungan Monas, mereka kan juga cari nafkah, yang gue
sebel kenapa yang berjualan itu gak bisa
jaga kebersihan. Maksudnya, buang sampah juga sembarang tempat. Atau berjualan
di kawasan pejalan kaki. So, itu bukannya mengganggu para wisatawan yang mau
berekreasi dengan berjalan kaki?
Sekarang juga gue gak lihat banyak bule (sebutan orang
Indonesia untuk orang luar) berjalan dikawasan Monas. Padahal dulu sering
banget dan banyak banget gue lihat bule berlalu-lalang disekitar Monas. Dari pagi
gue nongkrong disini, gue gak lihat satu pun.
Dan kebetulan, kunjungan gue hari ini bertepatan dengan
acara Seni Papua. Yang diselenggarakan oleh pemerintah Papua selama 3hari. Dan ini
adalah hari terakhir.
Entah mungkin gue yang terlalu lebay, pas gue lihat acara
ini, gue lihat kebudayaan Papua yang masih kental banget, rasanya sedih. Sedih kalau
budaya Indonesia seperti ini makin lama makin kegeser sama budaya barat yang
masuk ke Indonesia.
Padahal, budaya asli Indonesia ini bisa menarik minat turis
datang ke Indonesia. Misalnya; dengan mengadakan pameran kebudayaan besar seluruh
Indonesia. Biar generasi tahun 2000-an buka mata, gak Cuma bisanya main gadget
dan nongkrong di warnet main game online. Atau nongkrong dipinggiran
sungai/mall Cuma buat ngeceng biar dibilang g4ho3l.
Gue rada kasihan ngeliat mereka yang masa kecilnya Cuma bisa
dihabiskan didepan komputer atau main gadget. Atau anak-anak kecil yang
sekarang ‘dicekokin’ sama lagu-lagu galau dewasa nan alay.
Dari 10 anak kecil, 9 diantara mereka hafal lagu-lagu dewasa
dibandingkan lagu-lagu masa kecil seumuran mereka. Miris?
Program-program di televisi pun sekarang udah jarang yang
memberi program yang mendidik anak-anak. Program tv sekarang lebih banyak
condong ke acara Joget-joget ayan rame-rame yang diselipkan beberapa adegan
saling bully. Jangan heran generasi sekarang walaupun masih kecil udah bisa
ngebully sesama, lah orang diajarinnya di televisi begitu. Atau sinetron
Indonesia tentang anak sekolahan tapi isinya
pembullyan semua.
Jangan salahin generasi sekarang yang udah banyak ngelawan
orang tua, atau gak menghormati orang yang lebih tua. Karena mereka secara gak
sengaja udah didoktrin sama acara-acara televisi yang isinya tidak mendidik seperti
itu.
Yuk, bareng-bareng memperbaiki diri. Jangan buang sampah
sembarangan, contohnya. Kurangin pemanasan global. Asal kalian tahu ya, es di
kutub utara udah makin menipis. Makin panas aja suhu dibumi. Panasnya bumi aja
udah gak kuat, gimana panasnya api neraka?
Kasihan loh, padahal Monas ini salah satu tempat bersejarah
di Jakarta. Tapi, kebersihannya sangat gak terawat sama sekali. Gue gak sempet
mau masuk ke dalam Monasnya, karena ngantri banget. Lagian juga gak bakal dapat
pemandangan apa-apa kalau terlalu banyak orang.
Cukup jalan-jalan dikawasan Monasnya, mengenang masa kecil
dulu sekalian olahraga jalan-jalan. Gue kangen pohon ceri yang masih rindang,
yang dulu sering gue naikin Cuma buat duduk diatas pohon. Atau pohon buah maja
yang pahit, yang sekarang makin gak ada buahnya.
Dulu waktu kecil, sering banget naik pohon ini. Alibinya mau ambil buah ceri, padahal cuma mau duduk diatas pohon. |
Ini dia pohon berbuah Maja yang rasanya pahit. |
Kembalikan Monumen Nasional seperti dahulu kala...
2 comments
yak itulah masa dimana rasa kepedulian terhadap lingkungan dan generasi penerus telah hilang . .
ReplyDeleteAnyway acara kebudayan Indonesia yang langka kaya gitu kok kurang publikasi ya, sayang banget.
Daru dulu ke sana juga gak berubah -_-
ReplyDelete-----------------------------------------------------------------------------
Salam kenal kawan :) --- Irfan Andriarto ---
Kalau mau ng'blog sambil bisnis Daftar di sini broh, GRATIS ! Lumayan kok di sini Daftar