Ganindra
Dengan bersusah payah dan keringat yang mengalir deras,
Ganindra tetap pantang menyerah memadamkan si jagoan merah. Tak perduli berapa
suhu panas di sana, ia tetap berdiri tegak dengan nozzle-nya.
Menantang maut. Mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan
nyawa.
Ia melangkah dengan hati-hati, mendekati sumber api.
“Pantang pulang sebelum kita menang,” ujarnya kecil, membuat Danan menoleh ke arahnya dan tersenyum
penuh semangat.
“Kita bisa, Ga.”
Ganindra mengangguk.
Tekadnya bulat, memenangkan setiap pertarungannya. Baginya,
inilah medan perangnya. Di sini ia mempertaruhkan nyawanya. Jelas, menjadi
pemenang adalah harga mati.
Api yang membara tak kunjung padam. Sudah hampir 12 jam ia
bertarung. Tapi, belum menunjukkan tanda kemenangan.
Di sela-sela peluh keringat yang mengucur deras, ia
mengusapnya. Tekanan suhu yang semakin memanas, tidak membuatnya gentar untuk
melangkah mundur.
Api yang membara membuat beberapa pondasi bangunan rapuh. Dari
ujung penglihatannya, Ganindra menarik Danan menjauhi tembok yang akan runtuh.
Keduanya tersungkur. Nozzle mereka terlepas dari tangan.
“Ga,” panggil Danan lirih.
“Fokus, Nan. Tapi, harus tetep hati-hati,” ujar Ganindra
yang langsung mengambil kembali nozzlenya.
Pasokan oksigen di sana sudah hampir menipis. Tapi, semangat
Ganindra tetap membara. Diikuti Danan yang juga tertular semangat Ganindra.
“Ga, istirahat. Gantian,” ujar temannya yang lain. “Biar
kita yang urus. Lo tarik napas aja dulu.”
Ganindra mengangguk. Ia melangkahkan kakinya keluar untuk
sekedar tarik napas sejenak karena asap yang membuat sesak.
Matanya memandang sekeliling. Melihat para korban yang terus
menangis tanpa henti. Telinganya yang terus mendengar isak tangis diselingi
kalimat permintaan tolong untuk kerabat mereka yang masih terjebak di sana.
Hatinya bak teriris. Mereka mungkin memang bukan saudara
sedarah dan sekandung. Tapi, melihat mereka menangis sambil terus mengais
permintaan tolong jelas membuat batinnya ikut menangis.
Tanpa harus menjadi sedarah, ia dapat merasakan bagaimana
takutnya, sedihnya, bahkan khawatirnya mereka.
Asap yang terlihat semakin menghitam. Kobaran api tak
menunjukkan akan segera padam. Tak butuh waktu lama untuk Ganindra masuk
kembali. Memakai helmnya, dan memegang nozzle-nya.
Kebakaran gedung yang besar dan membuat banyak nyawa
terjebak.
Ia bahkan tidak dapat membayangkan bagaimana takutnya mereka
yang berada dalam lingkar si jago merah.
Tekadnya saat ini adalah menyelamatkan mereka.
Seluruh tim bekerja keras saling membahu untuk memadamkan
sang api. Tak memandang kamu siapa, dari kompi mana, atau dari daerah mana. Tujuan
mereka sama, memenangkan pertarungan dan menyelamatkan orang.
Asap hitam yang tebal membuat dada semakin sesak. Namun,
semangat tetap ada.
Mata merah dan pedih pun tak perduli. Kulit mulai hitam
legam oleh asap pun tak apa.
Asalkan, sang api bisa reda.
Setelah berjam-jam lamanya, akhirnya sang api pun mulai
mereda. Memudahkan sebagian tim untuk mencari mereka yang terjebak di antara
lingkar jago merah.
Demi menyelamatkan mereka, terkadang ada nyawa yang
dipertaruhkan.
Kebakaran hebat itu bahkan memakan korban. Salah seorang
rekan satu kompi Ganindra gugur dalam tugas karena sesak dan kehabisan oksigen
saat berjuang.
Ganindra menghela napas saat semua orang yang terjebak
akhirnya terbebaskan. Meski ia saat ini harus berduka karena kehilangan rekannya.
Ganindra berdiri menunduk di depan tubuh rekannya yang sudah
tak berdaya.
Ia menyilangkan tangan kanannya ke dada kiri. Memberi penghormatan
terakhir untuk ia yang gugur dalam berjuang.
Merekalah sang satria biru. Yang rela mempertaruhkan nyawa
demi menuntaskan tugas mulia. Dan, menolong sesama. Tak perduli ras, suku, dan
agama. Kemanusiaan harus tetap ada.
Merekalah sang satria. Yang berjuang dan tak pernah kenal
lelah. Yang berdiri paling depan saat semua orang berlari berhamburan. Yang berdiri
menantang saat orang lain ketakutan.
Merekalah sang satria. Tanpa kuda, tanpa pedang, dan tanpa
perisai.
Yang mereka punya hanyalah keberanian, dan jiwa yang pantang
pulang sebelum tugasnya usai.
Memastikan semua aman. Dan, keluar belakangan.
Merekalah sang pahlawan.
Ganindra menitikkan airmata.
Lalu, sebuah tangan menepuk bahunya pelan. Dengan airmata
yang masih membasahi pelupuk matanya, Ganindra menatap orang yang ada di
sebelahnya.
“Aku turut berduka. Dan, kamu sudah melalukan yang terbaik,”
ujar perempuan itu seraya tersenyum.
Ganindra pun tersenyum. Melangkah gontai diiringi langkah
sang perempuan.
“Saat kamu bertarung di dalam sana, aku di sini bertarung
lewat do’a. Semoga kamu dan rekan-rekanmu baik-baik saja,” Ganindra menoleh
pada sang perempuan. “Saat aku memilihmmu, aku sudah tau apa yang akan aku
hadapi. Keikhlasan terbesarku adalah merelakanmu pergi bertarung dengan sang
api. Harapanku, kamu akan selalu kembali. Untuk menyelamatkan orang lebih
banyak lagi. Saat kamu berjuang di sana, yang bisa aku kirimkan hanyalah do’a. Agar
selalu baik-baik saja,” tutup Athaya.
2 comments
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete